Selasa, 30 Oktober 2012

Refleksi : Menikmati Proses, Menghargai Hasil




Imam Bukhari meriwayatkan penuturan Khabbab, “Aku menghadap Rasulullah Saw. yang sedang berbaring berbantalkan sebuah selimut di dekat Ka’bah. Saat itu kami telah menerima perlakuan keras dari kaum musyrikin. Aku mengadu, ‘Apakah Anda tidak berdoa supaya Allah menolong kita?’
Mendengar pertanyaan itu, beliau langsung bangkit dan duduk dengan muka memerah. Kata beliau, “Orang-orang sebelum kalian dahulu di sisir tubuhnya dengan sisir besi hingga terurai daging dan uratnya dari tulang. Namun, itu tidak memalingkan mereka dari agama mereka. Allah Swt. pasti akan menyempurnakan agama Islam ini sehingga orang musafir bisa berjalan dari Shan’a ke Hadhramaut dengan aman, tanpa takut selain kepada Allah Swt. dan kepada serigala yang mungkin memangsa kambingnya. Akan tetapi, kalian ingin cepat berhasil.”
***
Sejarah kehidupan orang-orang terkenal menjadi hal menarik disimak karena kesuksesan dan pengaruh mereka yang sangat kuat terhadap banyak orang. Tetapi ada satu hal yang harus kita sadari, kesuksesan mereka tidaklah di dapat satu atau dua hari saja. Kesuksesan mereka berasal dari perjuangan, pengorbanan dan kesabaran yang memakan waktu cukup lama. Hanya orang-orang yang memiliki tujuan dan cita-cita saja yang berhasil meraih kesuksesan itu.
Eddie Cantor pernah mengatakan, membutuhkan dua puluh tahun untuk membuat kesuksesan semalam. Sedangkan Charles Spurgeon mengatakan, siput masuk ke dalam bahtera Nuh dengan ketekunan. Sebuah pengibaratan yang sangat tepat dalam memahami sebuah kesuksesan. Sarasate, pemain biola terbesar di abad sembilan belas dari Spanyol, pernah digelari pemain jenius oleh para kritikus musik. Menanggapinya, Sarasate menjawab, “Saya? Jenius? Selama tiga puluh tujuh tahun saya berlatih empat belas jam sehari, dan baru sekarang mereka mengatakan saya jenius?”
Kesuksesan itu juga pasti menemui hambatan, rintangan, dan kegagalan. Soichiro Honda bahkan mengatakan, keberhasilan mengandung 99% kegagalan. Lihat juga betapa banyaknya kegagalan yang dialami Thomas Alva Edison. Namun justru, dengan kegagalan itu mereka mendapat pelajaran berharga. Yaitu, tidak melewati kegagalan itu lagi dikemudian hari. Berani gagal adalah tanda orang yang berani memulai.
Sebagian besar manusia ingin cepat memperoleh hasil yang memuaskan, sehingga secara sadar atau tidak, manusia kerap mengikuti hawa nafsunya dan menghalalkan segala cara demi meraih kesuksesan yang diimpikannya. Jarang sekali yang berorientasi kepada proses, kebanyakan menghendaki kesuksesan instan, yang dengan cepat dapat dinikmati. Orang-orang seperti ini, seringkali menjadi budak hawa nafsunya. Hatinya tertutup, terkunci dari kebenaran. Tentu, ia akan jauh dari rahmat dan pertolongan Allah. Dan, suatu saat pasti ia akan merasakan akibat yang tidak sebanding dengan kenikmatan sesaat yang direguknya.
Kita harus terus belajar untuk menikmati proses daripada menikmati hasil. Proses adalah sebuah rentang perjalanan yang mungkin teramat panjang, lama, dan penuh aral melintang. Tak jarang menimbulkan kesusahan dan kesengsaraan. Dan, kita harus terus berlatih menikmatinya. Sebagai manusia normal, kita memang merindukan tercapainya cita-cita.
Semua usaha membutuhkan proses, diawali dengan niat yang ikhlas, bahwa apapun tujuan kita harus tetap dalam koridor meraih ridha-Nya. Lalu akal, pikiran, tenaga, dan waktu kita kerahkan sepenuhnya untuk berikhtiar sungguh-sungguh, mewujudkan apa yang menjadi impian kita. Subhanallah, sebenarnya inilah yang disebut sebuah proses.
Walaupun sepertinya terlihat menyulitkan, namun proses ini akan menjadi ladang amal yang luar biasa. Kita dapat meraup pertolongan, barakah Allah, tentu andai kita selalu istiqamah, sabar dalam menjalani setiap proses kehidupan kita. Menjadi jalan kian dekat kepada-Nya. Dan andaikan kita mendapatkan cita-cita kita, setelah melalui proses itu, kita akan menjadi orang yang lebih menghargai hidup, lebih bersyukur atas karunia yang dilimpahkan-Nya. Karena kita yakin, bahwa hanya dengan pertolongan Allah lah kita mampu melakukan semuanya. Maka, berjuanglah untuk meniti proses demi proses dalam kehidupan kita yang cuma sebentar ini. Adapun tentang hasil, kita serahkan sepenuhnya kepada Allah. Semoga kita senantiasa diberikan kemampuan untuk tetap berjuang, bersabar agar kita dapat kian menikmati proses kehidupan yang mendewasakan diri. Wallahu’alam. [Nilaa]

Memanen Potensi DM 1 KAMMI




Pada tanggal 20-22 April 2012 lalu, KAMMI komisariat UNY telah sukses mengadakan Dauroh Marhalah 1 KAMMI “Leadership Training Camp” yang bertempat di Shelter ACT Gondang, Sleman. DM ini adalah DM kedua dalam periode kepengurusan KAMMI 2012, dan rencananya ada dua gelombang DM lagi. Agenda rutin KAMMI kali ini diikuti oleh sekitar lima puluhan peserta yang berasal dari UNY, dan satu orang dari UGM.
Secara umum, kegiatan ini berjalan dengan lancar dan sesuai dengan harapan. Dengan  jumlah peserta yang banyak dan mungkin tidak sebanding dengan jumlah panitia yang tersedia. Setidaknya, hal ini bisa menjadi bahan koreksi dan pelecut semangat bagi kader-kader KAMMI UNY untuk segera sertifikasi dan naik jenjang. Namun, dengan  keterbatasan seperti itu, DM tetap bisa berjalan dengan lancar. Hal ini, tentu saja tidak lepas dari peran serta Allah SWT.
Materi dan kegiatan-kegiatan lain, secara keseluruhan sama dengan DM-DM sebelumnya. Tentu saja, mekanisme ini sudah sesuai dengan pedoman yang ada. Yang membedakan dari DM kali ini adalah, ada presentasi dari tiap departemen serta PI dan PH yang memperkenalkan  masing-masing departemennya serta terperinci dan jelas kepada para peserta. Tujuannya? Jelas untuk mendekatkan diri kepada peserta secara kultural. Juga satu lagi yang paling menarik dari DM kali ini adalah materi manajemen dan simulasi aksi yang berjalan dengan sangat hidup dan terkesan alami.
Kegiatan ditutup dengan Pengumuman kelulusan peserta. Walaupun masih ada peserta yang harus lulus bersyarat dan ada yang harus tertolak. Apapun hasilnya, selamat kepada peserta yang telah lulus, kalian adalah kader-kader KAMMI sekarang. Sudah saatnya mengambil tanggungjawab sebagai Muslim Negarawan, menjadi juru dakwah dalam lingkaran wajihah ini. Kalian adalah pemuda-pemuda harapan, calon pemimpin dengan bakat, semangat, dan potensi yang luar biasa.Hamasah! [Olia]

Perempuan Bukan Pengemis Kesetaraan



Oleh: Wahyu P Hidayat
Mahasiswa Pend Sosiologi 2009


Menurut Suryadi dan Idris, dalam bukunya Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan, gender adalah jenis kelamin sosial atau konotasi masyarakat untuk menentukan peran sosial berdasarkan jenis kelamin. Artinya masyarakat telah dengan sendirinya mampu mengidentifikasi peran-peran sosial yang 'cocok' untuk setiap jenis kelamin yang ada sebagai bentuk penghargaan. Akan tetapi yang tidak dapat dipungkiri adalah proses pengidentifikasian peran-peran sosial itu sangat bergantung pada budaya yang telah mapan di suatu masyarakat tertentu. Indonesia adalah negara yang memiliki budaya patriarkhi yang kuat.
Nilai-nilai kemanusiaan yang universal kiranya perlu diterapkan sebagai paradigma dalam membentuk hakikat kehidupan ini. Sebagaimana Islam menjunjung tinggi dan menghargai derajat kemanusiaan. Islam adalah agama yang datang dengan misi rahmatan lil'alamin. Paradigma yang ditawarkan oleh Islam telah jauh melampaui sekat-sekat etnis, suku, ras, negara bahkan jenis kelamin. Meski demikian ada sekian banyak distorsi pemahaman tentang Islam dan perempuan, khususnya ketika berkaitan dengan pembagian peran domestik dan peran publik bagi perempuan.
Lantas sejatinya seperti apa Islam mengatur perempuan? Sebelum kedatangan Islam di daratan Arab, budaya patriarkhi sangat kuat dan membabi buta, perempuan menjadi sesuatu yang dianggap hina. Zaman itu perempuan dianggap sebagai sesuatu yang memalukan, seorang suami boleh memperistri perempuan tanpa ada batasan yang jelas, ketika seorang suami meninggal maka istri-istrinya dapat diwariskan ke ahli warisnya, bahkan banyak diantara mereka yang rela mengubur anak perempuannya secara hidup-hidup dikarenakan tidak berharganya perempuan dimata mereka. Dalam surat An-Nahl ayat 58-59 mengatakan “dan apabila seorang diantara mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitam merah padamlah wajahnya dan dia sangat bersedih (marah). Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan ‘buruk’-nya berita yang disampaikan kepadanya itu. (Ia berfikir) apakah ia akan memeliharanya dengan kehinaan ataukah menguburkannya kedalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah! Alangkah buruk apa yang mereka tetapkan itu.”
Paradigma berpikir yang melenceng ini perlahan menjadi lurus ketika Islam sudah mulai menyentuh peradaban di daratan Arab. Perempuan begitu dihargai dalam Islam, kehormatan sosial perempuan diatur dengan apik agar tetap terjaga. Ketika pada abad 18 feminisme mulai digelorakan di barat, kemudian muncul gerakan kesetaraan gender, hingga pada perkembangannya menuju pada tuntutan kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki. Jauh sebelum itu, 14 abad yang lalu Islam telah menggelorakan kesetaraan dan keadilan antara hak laki-laki dan perempuan. Konsep ini tercantum dalam surat An-Nahl ayat 97: “barangsiapa melakukan kebajikan baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka kami akan karuniakan kepadanya kehidupan yang baik.” Sejatinya Allah akan memberikan balasan bagi setiap hamba-Nya sesuai dengan kadar pekerjaan yang ia lakukan. Lantas bentuk kesetaraan dan keadilan yang seperti apalagi yang diperjuangkan oleh kaum feminis? Bukankah Islam telah memberikan solusinya?
Perempuan dan Politik
Dunia politik sering kali dimaknai dengan dunia laki-laki. Hukum rimba diyakini masih berlaku di dunia politik, Hobbes mengistilahkan hal yang demikian sebagai the man is wolf to man, manusia adalah serigala bagi manusia lainya. Sedangkan perempuan dalam budaya Indonesia (maupun di negara-negara lainnya) lebih banyak dikenal sebagai sosok yang lemah lembut, keibuan dan cenderung memilih kedamaian. Hal ini sangat bertentangan dengan gambaran politik menurut Hobbes yang terkesan keras. Imbas dari persepsi semacam ini dapat dirasakan pada dunia politik internasional maupun di tingkat domestik, Indonesia. Jumlah politisi perempuan yang menduduki jabatan publik di tata pemerintahan masih sangat minim. Seperti diberitakan media on-line, perwakilan PBB mengatakan bahwa keterwakilan perempuan dalam parlemen di beberapa negara sebagai berikut: Rusia memiliki 13,6% keterwakilan perempuan, Amerika Serikat 16,8%, Perancis 18,9%, Cina 21,3% dan Inggris 22,3%. Berbicara pada tingkat domestik, di Indonesia sendiri keterwakilan perempuan di DPR belum menembus angka 30%.
Eksistensi perempuan dalam dunia politik tidak boleh diabaikan, justru seharusnya lebih banyak disupport. Begitu pula kata Mahatma Gandhi "Banyak sudah pergerakan yang kandas ditengah jalan karena kita mengabaikan potensi dan eksistensi kaum perempuan" menguatkan pendapat ini, Kemal Ataturk dan Lenin mengatakan "Kita tidak bisa mengabaikan peran serta kaum perempuan karena kemenangan tidak akan tercapai jika melupakan peran kaum perempuan" (Lihat: Seokarno dalam Sarinah 1963). Dukungan terhadap perempuan tidaklah diartikan dengan menuntut dibuatnya aturan khusus yang menyatakan keterwakilan perempuan dengan kuota tertentu. Menuntut adanya kuota khusus semisal 20%, 30% atau bahkan 50% merupakan pelecehan bagi perempuan itu sendiri, perilaku ini justru melegitimasi bahwa perempuan memang kaum yang lemah. Bukankah ini tak ubahnya dengan mengemis?
Pendidikan politik bagi perempuan
Pendidikan politik pada perempuan kiranya perlu untuk digelorakan secara masal, hal ini ditujukan agar perempuan memiliki kesiapan untuk terjun ke dunia politik tanpa harus mengemis kebijakan. Pendidikan politik yang dimaksud disini meliputi 2 hal; pendidikan formal dan pendidikan non-formal (organisasi politik mahasiswa, LSM, atau yang lainnya) Senada dengan argumentasi diatas, anggota Fokus Politik Perempuan Bogor, Kartini Eriani, mengatakan, "Kaum perempuan perlu didorong agar bisa menggunakan hak untuk memilih dan dipilih dalam kehidupan sosial politiknya, untuk itu pendidikan politik menjadi penting bagi mereka."
Sedikitnya ada tiga hal yang harus terus menerus dilakukan untuk tetap menstabilkan kualitas perempuan sehingga tetap bisa fokus pada kepekaan sosial dan politiknya yakni melakukan pengembangan kecerdasan spiritual, melakukan kontrol terhadap kecerdasan emosional dan meningkatkan kecerdasan berpikir (intelegensia). Kecerdasan spiritual dibutuhkan sebagai bekal untuk mengambil sikap sehingga tidak lepas kendali, ia merupakan standing-point yang kokoh. Kecerdasan emosional pada perempuan harus bisa dikontrol sehingga anekdot bahwa perempuan cenderung memakai perasaan dalam memutusan sesuatu dapat dibantah. Kecerdasan rasionalitas akan dengan mudah didapatkan di dunia pendidikan, artinya perempuan harus didorong untuk lebih giat mencari ilmu baik dari institusi pendidikan yang formal maupun yang non-formal agar kedepannya mampu berssaing dengan siapapun dan dalam aspek apapun. Sehingga tahun-tahun kedepan kita akan menjumpai tokoh perempuan Indonesia yang memiliki kapasitas mumpuni semisal Benazier Butho yang menjadi Perdana Menteri Pakistan, Chandrika Bandaranaike Kumaratunga yang menjadi Presiden Srilanka, atau kita juga punya tokoh perjuangan dari kalangan perempuan yang membuat gentar sekian banyak kaum laki-laki dari kalangan penjajah, Cut Nyak Dien. Allahu 'alam bi shawab.

Jaulah Kampus III FIP UNY oleh KAMMI Komsat UNY




Jumat (11/05) telah dilaksanakan kegiatan yang ditunggu-tunggu oleh KAMMI Komsat UNY maupun masyarakat kampus III FIP UNY yaitu Jaulah Kampus. Kegiatan ini telah direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya. Kegiatan yang sengaja dirancang sederhana dengan konsep lesehan dan ngobrol-ngobrol santai namun hangat, membuat acara ini ringan untuk diikuti. Tujuan jaulah ini adalah membangun tali silaturahim dan sebagai awal komunikasi yang baik antara KAMMI dan masyarakat kampus III. Peserta jaulah yang datang tidak hanya pengurus KAMMI maupun yang telah ikut Dauroh Marhalah I saja, tapi ada juga beberapa mahasiswa yang ingin mengenal KAMMI turut pula bergabung.
Bagi sebagian orang  yang belum mengenal KAMMI mungkin ada yang memberikan persepsi bahwa KAMMI adalah gerakan ekstrakampus yang harus dijauhi dan dihindari. KAMMI membuktikan bahwasanya KAMMI bukanlah seperti apa yang dipikirkan oleh sebagian mahasiswa tadi. Meskipun KAMMI merupakan gerakan yang konsen dan konsisten dalam bidang politik kampus, gerakan ini juga sangat memperhatikan kegiatan diranah Sosial. Dengan adanya Jaulah ke Kampus III ini, KAMMI dan sebagian mahasiswa Kampus III saling bertukar perbincangan mengenai kegiatan-kegiatan yang telah dan akan dilaksanakan baik itu oleh KAMMI maupun oleh Organisasi Mahasiswa Kampus III. Seluruh yang diperbincangkan adalah hal-hal positif yang menunjang peningkatan kapasitas dan keilmuan sebagai mahasiswa yang siap berguna bagi nusa dan bangsa. Semoga saja kegiatan-kegiatan seperti ini akan terus dilaksanakn sebagai pengerat tali silaturahim dan sebagai tempat untuk saling bertukar ilmu. [Kahar]
© Blog Komisariat KAMMI UNY
Maira Gall