Oleh: Wahyu P Hidayat
Mahasiswa Pend Sosiologi 2009
Menurut Suryadi dan Idris, dalam bukunya Kesetaraan Gender
dalam Bidang Pendidikan, gender adalah jenis kelamin sosial atau konotasi
masyarakat untuk menentukan peran sosial berdasarkan jenis kelamin. Artinya
masyarakat telah dengan sendirinya mampu mengidentifikasi peran-peran sosial
yang 'cocok' untuk setiap jenis kelamin yang ada sebagai bentuk penghargaan.
Akan tetapi yang tidak dapat dipungkiri adalah proses pengidentifikasian
peran-peran sosial itu sangat bergantung pada budaya yang telah mapan di suatu
masyarakat tertentu. Indonesia adalah negara yang memiliki budaya patriarkhi
yang kuat.
Nilai-nilai kemanusiaan yang universal
kiranya perlu diterapkan sebagai paradigma dalam membentuk hakikat kehidupan
ini. Sebagaimana Islam menjunjung tinggi dan menghargai derajat kemanusiaan.
Islam adalah agama yang datang dengan misi rahmatan
lil'alamin. Paradigma yang ditawarkan oleh Islam telah jauh melampaui
sekat-sekat etnis, suku, ras, negara bahkan jenis kelamin. Meski demikian ada
sekian banyak distorsi pemahaman tentang Islam dan perempuan, khususnya ketika
berkaitan dengan pembagian peran domestik dan peran publik bagi perempuan.
Lantas sejatinya seperti apa Islam mengatur perempuan?
Sebelum kedatangan Islam di daratan Arab, budaya patriarkhi sangat kuat dan
membabi buta, perempuan menjadi sesuatu yang dianggap hina. Zaman itu perempuan
dianggap sebagai sesuatu yang memalukan, seorang suami boleh memperistri
perempuan tanpa ada batasan yang jelas, ketika seorang suami meninggal maka
istri-istrinya dapat diwariskan ke ahli warisnya, bahkan banyak diantara mereka
yang rela mengubur anak perempuannya secara hidup-hidup dikarenakan tidak
berharganya perempuan dimata mereka. Dalam surat An-Nahl ayat 58-59 mengatakan “dan apabila seorang diantara mereka diberi
kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitam merah padamlah wajahnya dan dia
sangat bersedih (marah). Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan
‘buruk’-nya berita yang disampaikan kepadanya itu. (Ia berfikir) apakah ia akan
memeliharanya dengan kehinaan ataukah menguburkannya kedalam tanah
(hidup-hidup). Ketahuilah! Alangkah buruk apa yang mereka tetapkan itu.”
Paradigma berpikir yang melenceng ini
perlahan menjadi lurus ketika Islam sudah mulai menyentuh peradaban di daratan
Arab. Perempuan begitu dihargai dalam Islam, kehormatan sosial perempuan diatur
dengan apik agar tetap terjaga.
Ketika pada abad 18 feminisme mulai digelorakan di barat, kemudian muncul
gerakan kesetaraan gender, hingga pada perkembangannya menuju pada tuntutan
kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki. Jauh sebelum itu, 14 abad yang
lalu Islam telah menggelorakan kesetaraan dan keadilan antara hak laki-laki dan
perempuan. Konsep ini tercantum dalam surat An-Nahl ayat 97: “barangsiapa melakukan kebajikan baik
laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka kami akan karuniakan
kepadanya kehidupan yang baik.” Sejatinya Allah akan memberikan balasan
bagi setiap hamba-Nya sesuai dengan kadar pekerjaan yang ia lakukan. Lantas
bentuk kesetaraan dan keadilan yang seperti apalagi yang diperjuangkan oleh
kaum feminis? Bukankah Islam telah memberikan solusinya?
Perempuan dan Politik
Dunia politik sering kali dimaknai dengan dunia
laki-laki. Hukum rimba diyakini masih berlaku di dunia politik, Hobbes
mengistilahkan hal yang demikian sebagai the
man is wolf to man, manusia adalah serigala bagi manusia lainya. Sedangkan
perempuan dalam budaya Indonesia (maupun di negara-negara lainnya) lebih banyak
dikenal sebagai sosok yang lemah lembut, keibuan dan cenderung memilih
kedamaian. Hal ini sangat bertentangan dengan gambaran politik menurut Hobbes
yang terkesan keras. Imbas dari persepsi semacam ini dapat dirasakan pada dunia
politik internasional maupun di tingkat domestik, Indonesia. Jumlah politisi
perempuan yang menduduki jabatan publik di tata pemerintahan masih sangat
minim. Seperti diberitakan media on-line,
perwakilan PBB mengatakan bahwa keterwakilan perempuan dalam parlemen di
beberapa negara sebagai berikut: Rusia memiliki 13,6% keterwakilan perempuan,
Amerika Serikat 16,8%, Perancis 18,9%, Cina 21,3% dan Inggris 22,3%. Berbicara
pada tingkat domestik, di Indonesia sendiri keterwakilan perempuan di DPR belum
menembus angka 30%.
Eksistensi perempuan dalam dunia politik
tidak boleh diabaikan, justru seharusnya lebih banyak disupport. Begitu pula kata Mahatma Gandhi "Banyak sudah pergerakan yang kandas ditengah jalan karena kita
mengabaikan potensi dan eksistensi kaum perempuan" menguatkan pendapat
ini, Kemal Ataturk dan Lenin mengatakan "Kita
tidak bisa mengabaikan peran serta kaum perempuan karena kemenangan tidak akan
tercapai jika melupakan peran kaum perempuan" (Lihat: Seokarno dalam Sarinah 1963). Dukungan terhadap
perempuan tidaklah diartikan dengan menuntut dibuatnya aturan khusus yang
menyatakan keterwakilan perempuan dengan kuota tertentu. Menuntut adanya kuota
khusus semisal 20%, 30% atau bahkan 50% merupakan pelecehan bagi perempuan itu
sendiri, perilaku ini justru melegitimasi bahwa perempuan memang kaum yang
lemah. Bukankah ini tak ubahnya dengan mengemis?
Pendidikan
politik bagi perempuan
Pendidikan politik pada perempuan kiranya
perlu untuk digelorakan secara masal, hal ini ditujukan agar perempuan memiliki
kesiapan untuk terjun ke dunia politik tanpa harus mengemis kebijakan.
Pendidikan politik yang dimaksud disini meliputi 2 hal; pendidikan formal dan
pendidikan non-formal (organisasi politik mahasiswa, LSM, atau yang lainnya)
Senada dengan argumentasi diatas, anggota Fokus Politik Perempuan Bogor,
Kartini Eriani, mengatakan, "Kaum
perempuan perlu didorong agar bisa menggunakan hak untuk memilih dan dipilih
dalam kehidupan sosial politiknya, untuk itu pendidikan politik menjadi penting
bagi mereka."
Sedikitnya ada tiga hal yang harus terus menerus
dilakukan untuk tetap menstabilkan kualitas perempuan sehingga tetap bisa fokus
pada kepekaan sosial dan politiknya yakni melakukan pengembangan kecerdasan
spiritual, melakukan kontrol terhadap kecerdasan emosional dan meningkatkan
kecerdasan berpikir (intelegensia). Kecerdasan spiritual dibutuhkan sebagai
bekal untuk mengambil sikap sehingga tidak lepas kendali, ia merupakan standing-point yang kokoh. Kecerdasan
emosional pada perempuan harus bisa dikontrol sehingga anekdot bahwa perempuan
cenderung memakai perasaan dalam memutusan sesuatu dapat dibantah. Kecerdasan
rasionalitas akan dengan mudah didapatkan di dunia pendidikan, artinya perempuan
harus didorong untuk lebih giat mencari ilmu baik dari institusi pendidikan
yang formal maupun yang non-formal agar kedepannya mampu berssaing dengan
siapapun dan dalam aspek apapun. Sehingga tahun-tahun kedepan kita akan
menjumpai tokoh perempuan Indonesia yang memiliki kapasitas mumpuni semisal
Benazier Butho yang menjadi Perdana Menteri Pakistan, Chandrika Bandaranaike
Kumaratunga yang menjadi Presiden Srilanka, atau kita juga punya tokoh
perjuangan dari kalangan perempuan yang membuat gentar sekian banyak kaum
laki-laki dari kalangan penjajah, Cut Nyak Dien. Allahu 'alam bi shawab.
Tidak ada komentar
Posting Komentar