Selasa, 30 Oktober 2012

Perempuan Bukan Pengemis Kesetaraan



Oleh: Wahyu P Hidayat
Mahasiswa Pend Sosiologi 2009


Menurut Suryadi dan Idris, dalam bukunya Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan, gender adalah jenis kelamin sosial atau konotasi masyarakat untuk menentukan peran sosial berdasarkan jenis kelamin. Artinya masyarakat telah dengan sendirinya mampu mengidentifikasi peran-peran sosial yang 'cocok' untuk setiap jenis kelamin yang ada sebagai bentuk penghargaan. Akan tetapi yang tidak dapat dipungkiri adalah proses pengidentifikasian peran-peran sosial itu sangat bergantung pada budaya yang telah mapan di suatu masyarakat tertentu. Indonesia adalah negara yang memiliki budaya patriarkhi yang kuat.
Nilai-nilai kemanusiaan yang universal kiranya perlu diterapkan sebagai paradigma dalam membentuk hakikat kehidupan ini. Sebagaimana Islam menjunjung tinggi dan menghargai derajat kemanusiaan. Islam adalah agama yang datang dengan misi rahmatan lil'alamin. Paradigma yang ditawarkan oleh Islam telah jauh melampaui sekat-sekat etnis, suku, ras, negara bahkan jenis kelamin. Meski demikian ada sekian banyak distorsi pemahaman tentang Islam dan perempuan, khususnya ketika berkaitan dengan pembagian peran domestik dan peran publik bagi perempuan.
Lantas sejatinya seperti apa Islam mengatur perempuan? Sebelum kedatangan Islam di daratan Arab, budaya patriarkhi sangat kuat dan membabi buta, perempuan menjadi sesuatu yang dianggap hina. Zaman itu perempuan dianggap sebagai sesuatu yang memalukan, seorang suami boleh memperistri perempuan tanpa ada batasan yang jelas, ketika seorang suami meninggal maka istri-istrinya dapat diwariskan ke ahli warisnya, bahkan banyak diantara mereka yang rela mengubur anak perempuannya secara hidup-hidup dikarenakan tidak berharganya perempuan dimata mereka. Dalam surat An-Nahl ayat 58-59 mengatakan “dan apabila seorang diantara mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitam merah padamlah wajahnya dan dia sangat bersedih (marah). Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan ‘buruk’-nya berita yang disampaikan kepadanya itu. (Ia berfikir) apakah ia akan memeliharanya dengan kehinaan ataukah menguburkannya kedalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah! Alangkah buruk apa yang mereka tetapkan itu.”
Paradigma berpikir yang melenceng ini perlahan menjadi lurus ketika Islam sudah mulai menyentuh peradaban di daratan Arab. Perempuan begitu dihargai dalam Islam, kehormatan sosial perempuan diatur dengan apik agar tetap terjaga. Ketika pada abad 18 feminisme mulai digelorakan di barat, kemudian muncul gerakan kesetaraan gender, hingga pada perkembangannya menuju pada tuntutan kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki. Jauh sebelum itu, 14 abad yang lalu Islam telah menggelorakan kesetaraan dan keadilan antara hak laki-laki dan perempuan. Konsep ini tercantum dalam surat An-Nahl ayat 97: “barangsiapa melakukan kebajikan baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka kami akan karuniakan kepadanya kehidupan yang baik.” Sejatinya Allah akan memberikan balasan bagi setiap hamba-Nya sesuai dengan kadar pekerjaan yang ia lakukan. Lantas bentuk kesetaraan dan keadilan yang seperti apalagi yang diperjuangkan oleh kaum feminis? Bukankah Islam telah memberikan solusinya?
Perempuan dan Politik
Dunia politik sering kali dimaknai dengan dunia laki-laki. Hukum rimba diyakini masih berlaku di dunia politik, Hobbes mengistilahkan hal yang demikian sebagai the man is wolf to man, manusia adalah serigala bagi manusia lainya. Sedangkan perempuan dalam budaya Indonesia (maupun di negara-negara lainnya) lebih banyak dikenal sebagai sosok yang lemah lembut, keibuan dan cenderung memilih kedamaian. Hal ini sangat bertentangan dengan gambaran politik menurut Hobbes yang terkesan keras. Imbas dari persepsi semacam ini dapat dirasakan pada dunia politik internasional maupun di tingkat domestik, Indonesia. Jumlah politisi perempuan yang menduduki jabatan publik di tata pemerintahan masih sangat minim. Seperti diberitakan media on-line, perwakilan PBB mengatakan bahwa keterwakilan perempuan dalam parlemen di beberapa negara sebagai berikut: Rusia memiliki 13,6% keterwakilan perempuan, Amerika Serikat 16,8%, Perancis 18,9%, Cina 21,3% dan Inggris 22,3%. Berbicara pada tingkat domestik, di Indonesia sendiri keterwakilan perempuan di DPR belum menembus angka 30%.
Eksistensi perempuan dalam dunia politik tidak boleh diabaikan, justru seharusnya lebih banyak disupport. Begitu pula kata Mahatma Gandhi "Banyak sudah pergerakan yang kandas ditengah jalan karena kita mengabaikan potensi dan eksistensi kaum perempuan" menguatkan pendapat ini, Kemal Ataturk dan Lenin mengatakan "Kita tidak bisa mengabaikan peran serta kaum perempuan karena kemenangan tidak akan tercapai jika melupakan peran kaum perempuan" (Lihat: Seokarno dalam Sarinah 1963). Dukungan terhadap perempuan tidaklah diartikan dengan menuntut dibuatnya aturan khusus yang menyatakan keterwakilan perempuan dengan kuota tertentu. Menuntut adanya kuota khusus semisal 20%, 30% atau bahkan 50% merupakan pelecehan bagi perempuan itu sendiri, perilaku ini justru melegitimasi bahwa perempuan memang kaum yang lemah. Bukankah ini tak ubahnya dengan mengemis?
Pendidikan politik bagi perempuan
Pendidikan politik pada perempuan kiranya perlu untuk digelorakan secara masal, hal ini ditujukan agar perempuan memiliki kesiapan untuk terjun ke dunia politik tanpa harus mengemis kebijakan. Pendidikan politik yang dimaksud disini meliputi 2 hal; pendidikan formal dan pendidikan non-formal (organisasi politik mahasiswa, LSM, atau yang lainnya) Senada dengan argumentasi diatas, anggota Fokus Politik Perempuan Bogor, Kartini Eriani, mengatakan, "Kaum perempuan perlu didorong agar bisa menggunakan hak untuk memilih dan dipilih dalam kehidupan sosial politiknya, untuk itu pendidikan politik menjadi penting bagi mereka."
Sedikitnya ada tiga hal yang harus terus menerus dilakukan untuk tetap menstabilkan kualitas perempuan sehingga tetap bisa fokus pada kepekaan sosial dan politiknya yakni melakukan pengembangan kecerdasan spiritual, melakukan kontrol terhadap kecerdasan emosional dan meningkatkan kecerdasan berpikir (intelegensia). Kecerdasan spiritual dibutuhkan sebagai bekal untuk mengambil sikap sehingga tidak lepas kendali, ia merupakan standing-point yang kokoh. Kecerdasan emosional pada perempuan harus bisa dikontrol sehingga anekdot bahwa perempuan cenderung memakai perasaan dalam memutusan sesuatu dapat dibantah. Kecerdasan rasionalitas akan dengan mudah didapatkan di dunia pendidikan, artinya perempuan harus didorong untuk lebih giat mencari ilmu baik dari institusi pendidikan yang formal maupun yang non-formal agar kedepannya mampu berssaing dengan siapapun dan dalam aspek apapun. Sehingga tahun-tahun kedepan kita akan menjumpai tokoh perempuan Indonesia yang memiliki kapasitas mumpuni semisal Benazier Butho yang menjadi Perdana Menteri Pakistan, Chandrika Bandaranaike Kumaratunga yang menjadi Presiden Srilanka, atau kita juga punya tokoh perjuangan dari kalangan perempuan yang membuat gentar sekian banyak kaum laki-laki dari kalangan penjajah, Cut Nyak Dien. Allahu 'alam bi shawab.

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© Blog Komisariat KAMMI UNY
Maira Gall