Amin Soedarsono
“Semua
ideologi yang berorientasi pada strategi revolusi, menganggap pemuda
sebagai
tenaga paling revolusioner yang telah dan terjadi di seantero dunia ini”
[Fathi Yakan]
TUJUH tahun yang lalu, tepatnya tanggal
29 Maret 1998, dibacakanlah Deklarasi Malang sebagai proklamasi kelahiran
sebuah organ gerakan mahasiswa muslim yang baru, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia. Pembacaan dilakukan oleh Fahri Hamzah, yang kemudian didaulat
menjadi ketua pertama dengan didampingi Haryo Setyoko sebagai sekretaris umum.
Peristiwa bersejarah itu kemudian diabadikan sebagai hari milad KAMMI.
KAMMI muncul
sebagai salah satu kekuatan alternatif mahasiswa yang berbasis mahasiswa muslim
dengan mengambil momentum pada pelaksanaan Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah
Kampus (FS-LDK) X se-Indonesia yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah
Malang. Acara ini dihadiri oleh 59 LDK yang berafiliasi dari 63 kampus
(PTN-PTS) di seluruh Indonesia. Jumlah peserta keseluruhan kurang lebih 200
orang yang notabenenya para aktivis dakwah kampus.
Mengapa harus
muncul KAMMI, sementara pada saat yang bersamaan sudah ada berbagai macam
organisasi ekstra kampus yang lain, yang juga merupakan gerakan mahasiswa
muslim? Pada konteks seperti apakah KAMMI menemukan momentum kelahirannya?
Latar belakang, samping dan depan seperti apakah yang menyebabkan KAMMI muncul
sebagai kekuatan baru bagi bangsa Indonesia? Pertanyaan itu mungkin muncul di
benak para pengamat, atau bahkan pertanyaan mudah semisal, “bagaimana mungkin
KAMMI mampu mengumpulkan massa sebanyak 20.000 orang saat usianya baru satu
bulan?”
Karena itu,
merupakan suatu hal yang signifikan untuk menguak latar belakang dan situasi
yang mendukung lahirnya KAMMI sebagai salah satu organ gerakan mahasiswa
pembawa gerbong reformasi Indonesia.
Mahasiswa
Dilarang Berpolitik !
Sangat jelas, bahwa pemerintah
memiliki ketakutan luar biasa terhadap mahasiswa. Mahasiswa adalah kelompok
yang mampu untuk benar-benar mengarahkan perubahan sesuai dengan keinginan
rakyat. Mahasiswa adalah sosok yang mampu membongkar semua maksud-maksud besar
hegemoni yang terus dilancarkan kelompok kekuasaan.
Hegemoni, meminjam istilah Antonio
Gramsci, seorang marxis Italia, mengatakan bahwa proses hegemoni terjadi
apabila cara hidup, cara berfikir dan pandangan pemikiran masyarakat bawah
terutama kaum proletariat telah meniru dan menerima cara berfikir dan gaya
hidup dari kelompok elite yang mendominasi dan mengakses mereka. Dengan kata
lain, jika ideologi dari golongan yang mendominasi telah diambil alih secara
sukarela oleh yang didominasi (Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci,
1999). Dalam konteks Orde Baru, ideologi politiknya telah benar-benar menjadi
hegemonik bagi warganya sendiri. Sehingga dalam kondisi seperti itu, pemerintah
yang korup dan bobrok tetap mampu mengendalikan gejolak rakyatnya. Kecuali
mahasiswa !
Cara berpolitiknya mahasiswa,
sebetulnya bukan politik praktis, namun politik moral (etik). Disini harus
difahamkan bahwa gerakan mahasiswa harus senantiasa berangkat dari kesadaran
moral di mana mereka tidak perlu masuk dalam wiayah politik kekuasaan. Tetapi
bukan berarti mahasiswa tidak boleh berbicara politik. Gerakan mahasiswa harus
mendorong proses politik menuju moralitas politik. Gerakan moral dapat
berimplikasi politis, karena tidak ada perubahan tanpa kebijakan politik.
Dalam
menjalankan pemerintahannya terutama pertengahan 70-an Soeharto mulai menuai
kritik dari mahasiswa dan masyarakat oleh KKN yang dipelopori keluarga Cendana
(baca: Soeharto). Peristiwa ini lebih dikenal dengan nama tragedi Malari (15
Januari 1974) yang salah satu tokohnya adalah Hariman Siregar.
Mahasiswa dengan segenap kemampuan,
terus berusaha mengkritisi kebijakan pemerintah yang membuat kerugian bagi
bangsa dan rakyat. Mereka turun ke jalan, masuk ke denyut parlemen, dan
melakukan negosiasi dengan para decision maker di republik ini.
Ternyata, hal itu membuat pemerintah gerah. Lalu, pada tahun 1978, melalui
Mendikbud Daoed Joesoef, dikeluarkan sebuah SK tentang NKK/BKK (Normalisasi
Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus).
Dalam konsep NKK/BKK, kegiatan
kemahasiswaan diarahkan pada pengembangan diri mahasiswa sebagai bagian
masyarakat ilmiah. Sehingga dunia mahasiswa pada kurun masa itu terasa jauh
dari denyut nadi persoalan riil masyarakat sekitarnya. Awalnya, aktivitas
mahasiswa dikatakan sebagai kegiatan politik praktis yang tidak sesuai iklim
masyarakat ilmiah. Kekuatan mahasiswa kemudian “dipagari” pada wilayah minat
dan bakat, kerohanian, dan penalaran. Disusul kemudian dengan kebijakan sistem
kredit semester, mahasiswa digiring menjadi insan akademis yang hanya berkutat
dengan pelajaran dan berlomba menyelesaikan kuliah. Mulai saat itu gerakan mahasiswa menurun massivitasnya karena pemerintah
semakin otoriter, represif, paranoid dan manipulatif terhadap aksi-aksi yang
dilakukan oleh mahasiswa. Beberapa aksi mahasiswa dan penentang kebijakan
pemerintah selalu dikaitkan, hubungan-hubungan bahwa aksi yang dilakukan
ditunggangi oleh pihak tertentu. Hampir seluruh kegiatan mahasiswa dicurigai,
diteror, dan ditangkap oleh aparat antek-antek pemerintah di kampus (baca:
rektor) yang sedikit banyak berdampak pada massivitas gerakan mahasiswa.
Kampus;
Karantina Politik
Ada sebuah analog menarik yang
disampaikan oleh Ignas Kleiden. Diawali sebuah pertanyaan, “bagaimana
menjelaskan bahwa mereka yang dilarang berpolitik selama lebih dari dua
dasawarsa, sekonyong-konyong menggemparkan dunia sebagai wunderkinder
politik (anak-anak ajaib dalam politik)?”. Dalam tulisannya itu (Tempo,
4 Januari 1999), Kleiden mencoba menjelaskan bahwa fenomena meledaknya gerakan
mahasiswa adalah karena sebetulnya, pelarangan kegiatan berpolitik bagi
mahasiswa pada masa Orde Baru bukanlah “Pulau Buru” untuk politik, tetapi lebih
mirip karantina yang melindungi mahasiswa dari kuman dan virus.
Untuk mereka yang hidup dalam
karantina, lanjut Kleiden, politik tradisional ini penuh aksesori, tetapi
terlalu sederhana dalam tematisnya: kedudukan, kekuasaan, fasilitas, keberanian
korupsi dan kesediaan untuk menyenangkan kesenangan yang lebih tinggi. Yang
tidak diduga adalah “anak-anak karantina” itu tidak mengenal tradisi politik
demikian. Mereka rupanya telah mengamati dengan telaten apa saja yang menjadi
pola strategi anti-demokrasi yang berulang-ulang diterapkan dan pada akhirnya
menemukan jalan untuk menghadapinya.
Akar dari kemunculan anak-anak muda
ini menurut Eep Saefullah Fatah (Catatan atas Gagalnya Politik Orde Baru,
1998) bisa dilacak sekurangnya tiga faktor. Pertama, ekses pendidikan
politik Orde Baru yang tertutup yang menimbulkan banyak kekecewaan.
Ketidakpuasan terhadap mekanisme pendidikan yang tertutup di awal-awal Orde
Baru, membuat mereka banyak menggali dan mencari di luar jatah belajar resmi di
kampus. Kedua, kemunculan anak-anak muda yang bersemangat ini adalah
satu hasil dari transformasi ekonomi dan sosial masyarakat. Makin besarnya
peluang berpendidikan tinggi, makin terbuka peluang mobilitas vertikal secara
ekonomis. Hal itu menumbuhkan komunitas kritis dan well informed di
tengah masyarakat. Ketiga, ekspresi dari kekecewaan terhadap politik
pembangunan (developmentalisme) yang menimbulkan ketimpangan sosial yang
parah.
Dalam halnya mahasiswa muslim,
ruang karantina itu menjadi semakin steril ketika bertemu dengan variabel
masjid. Hal inilah yang disinggung oleh Eep (Hidayatullah, Edisi 01/Th. XI Muharram
1419) ketika menganalisis bahwa pertemuan antara
masjid, sebagai ruang “suci” dan penuh nuansa religius spiritual, dengan
kampus—simbol intelektualitas dan pencetak tenaga pembangun bangsa—merupakan
sinergi yang sangat mendukung berkembangnya bibit KAMMI di kemudian hari.
Kampus merupakan ruang yang relatif aman untuk bergerak di tengah
kokohnya negara. Sedangkan masjid adalah simbol primordial yang kini memperoleh
ruang yang sama amannya dengan kampus. “Saat ini masjid merupakan suatu tempat
dimana kalangan Islam sedang diberi ruang untuk berpolitik,” katanya.
Menurutnya, KAMMI berhasil memanfaatkan dua variabel itu dengan baik. “Mereka
muncul dari basis kampus dan bergerak ke masjid”. Karenanya ia memandang KAMMI
berpotensi menjadi kekuatan yang diperhitungkan. “KAMMI memiliki massa yang
besar dean berkemampuan membangun jaringan kekuatan yang luas di luar kampus,”
ramal Eep.
Islam
Politik Dikebiri
Umat Islam di Indonesia, sejatinya
mengalami pengebirian politik. Menurut Kuntowijoyo (Identitas Politik Umat
Islam, 1997), Islam Politik inilah yang dibenci dan ditekan oleh negara
agar tidak berkembang. Mengapa Islam secara politik dihalangi oleh negara?
Menurut Kunto, mitos politik tentang pembangkangan Islam sangat dalam terpateri
dalam kesadaran sejarah bangsa, yaitu sejak kerajaan-kerajaan tradisional,
zaman Belanda dan NKRI (“DI/TII”) menyebabkan pengambil kebijakan Orde Baru
bersikap sangat kritis terhadap “Islam politik”.
Sejak
kemerdekaan, Indonesia memang telah mengalami berbagai sistem politik. Pemilu
pertama dalam sistem parlementer menghasilkan pemerintahan yang sering
dikatakan tidak stabil. Ujung-ujungnya, Soekarno mengeluarkan dekrit pada 1959
yang mengembalikan Indonesia ke UUD 1945, sekaligus memberikan kekuasaan besar
kepada Presiden Soekano. Orde Baru muncul menggantikan Orde Lama, yang kemudian
bertahan selama 32 tahun.
Pada awal Orde Baru (1966-1967)
ketika akan dibentuk PDII (Partai Demokrasi Islam Indonesia), negara
menolaknya. Demikian juga ketika Masyumi akan direhabilitasi. Tahun 1968,
berdiri Parmusi (Partai Muslimin Indonesia), namun menjadi mandul karena diisi
hanya oleh orang-orang yang pro-pemerintah. Asas Tunggal Pancasila pada tahun
1978 dengan sangat terpaksa diterima oleh umat, yang sebenarnya itu bagian dari
usaha politik untuk melemahkan Islam. Sejalan dengan itu, jatuhlah korban di
Tanjung Priok, Lampung, Jakarta dan berbagai tempat lain dengan motif
tuduhan “tindakan subversif”.
Tahun 1998,
muncul Orde Reformasi, yang diharapkan mampu membawa perbaikan kepada
masyarakat dalam berbagai bidang. Namun, apa yang terjadi? Umat Islam memang
mendapatkan ruang yang luas untuk beraktivitas politik, namun seperti
diungkapkan oleh Adian Husaini (Hidayatullah.com, 25/04/2004) selama
Orde Reformasi, Indonesia masih mengalami berbagai keterpurukan. Kebebasan di
berbagai bidang memang dinikmati masyarakat. Termasuk kebebasan melakukan dan
menyebarkan berbagai kemaksiatan melalui media massa. Utang Indonesia pun
bukannya mengecil, masih sekitar Rp 1.300 trilyun. Pemberantasan korupsi masih
menjadi perbincangan ideal, dan bahkan semakin menyebar dan merata ke
pelosok-pelosok, sejalan dengan program otonomi daerah. Pengangguran masih
melangit. Angka kemiskinan masih cukup tinggi.
Kondisi seperti ini, bagi mahasiswa
muslim merupakan sebuah ironi. Dan sebagai elemen masyarakat yang memiliki
kemampuan dan kepedulian tinggi, mahasiswa terpanggil untuk berperan
menyelamatkan bangsa. Kondisi pengebirian politik dan kebobrokan multi dimensi
di republik ini adalah beberapa sebab kemunculan KAMMI di kemudian hari. Selain
variabel intinya: ideologisasi Islam.
Di
Kampus Bersemai Islam
“KAMMI beranggotakan
individu-individu yang punya basis kultur religius, yang selama 20 tahun
aktivitasnya di LDK terus terjadi pengutan-penguatan visi keagamaan dan juga
politik,” demikian diungkapkan oleh Haryo Setyoko—Sekretaris Umum KAMMI
pertama—ketika menjawab tudingan bernada curiga, “bagaimana bisa suatu organisasi
berumur sehari mengeluarkan sikap politik yang demikian solid dan merangkum 60
LDK?”
Hal ini diperjelas dengan analisis Ali
Said Damanik (Fenomena Partai Keadilan, Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di
Indonesia, 2002), bahwa ada dua faktor penting yang
mengkonstruksi pola baru aktivitas keislaman mahasiswa. Pertama,
munculnya kelompok anak muda yang memiliki semangat tinggi dalam mempelajari
dan mengamalkan Islam, sebagai respon dari tekanan politik pemerintahan Orde
Baru terhadap umat Islam. Kedua, adanya sebuah public sphere
(ruang publik) yang relatif lapang, yang bernama masjid atau mushalla kampus,
tempat di mana idealisme kaum muda Islam itu mengalami persemaian ideal dan
pengecambahan secara cepat.
Tahun 80 sampai 90-an, para aktivis
dakwah telah memulai membangun pilar-pilar dakwah sebagai pemantik kebangkitan
Islam di Indonesia yang merupakan bagian
dari komunitas kaum muslimin di dunia. Aktivis dakwah ini telah menempuh
langkah strategis; membidik dunia kampus dan pendidikan. Kampus adalah pusat
peradaban dan pusat pembangunan generasi terdidik bangsa yang akan meneruskan
tongkat perjuangan bagi generasi sebelumnya. Terbangunnya kaum intelektual
kampus dengan sibghah Islam merupakan sebuah kemenangan yang luar biasa,
sebuah kontribusi yang amat sangat berharga bagi perkembangan dakwah
selanjutnya.
Lalu, diawali oleh masjid kampus
pertama di Indonesia, masjid Salman al-Farisi di Institut Teknologi Bandung
(ITB), dimulailah membentuk pengajian-pengajian kecil, dengan materi seputar aqidah
dan pemurnian makna Laa ilaaha Illaallah. Dengan membentuk para individu
unggulan ini diharapkan akan dapat menjadi tumpuan bagi keluarga unggulan, yang
kehidupannya mencerminkan sebuah keluarga dengan kemurnian aqidah. Dan
dari situ diharapkan akan terbentuk sebuah masyarakat yang mempunyai
karakteristik perilaku yang Islami.
Perkumpulan pengajian yang ada di
kampus-kampus ini kebanyakan termotivasi dengan adanya beberapa pergerakan yang
menawarkan ide-ide pemurnian terhadap pemahaman Islam dengan kembali kepada
Allah dan Rasul-Nya, dengan melaksanakan ajaran-Nya serta sunnah Rasul-Nya
dalam setiap jengkal kehidupan. Nama-nama dan pemikiran Ikhwanul Muslimin
[Mesir], Hizbut Tahrir [Yordania], Salafy, Al-Haramain, dan Jama’at
al-Islami [Pakistan] banyak mewarnai pemikiran aktivis dakwah kampus saat
itu. Ide-ide penegakan kembali persatuan Islam Internasional, Khilafah
Islamiah, merupakan ide-ide yang tidak pernah lepas dari kajian-kajian juga.
Demikian pula penanaman sikap anti imperialisme dan Barat dengan ghazwul
fikrinya. Hingga dalam beberapa waktu terbentuklah sosok-sosok mahasiswa
yang tampil secara ekslusif dengan pemahaman keislamannya. Para pemuda
berjenggot dan para wanita dengan kerudung [jilbab] lebar telah mulai bersemi
dalam kampus, yang kelak ternyata akan tumbuh dengan rimbunnya. Para mahasiswa
dengan al-Qur’an kecil di saku bajunya ternyata menjadi fenomena yang lama
kelamaan kian bertambah.
Dengan terbentuknya masjid-masjid
di kampus serta dengan terbukanya ruang untuk membentuk perkumpulan kajian di
kampus, maka benih-benih dakwah kampus yang telah dibangun melalui
kajian-kajian ini selanjutnya menyatu dalam wadah yang telah terorganisasi.
Dalam tingkatan perguruan tinggi maka masjid kampus akhirnya telah menjadi
basis perjuangan dakwah bagi para aktivis mahasiswa Islam di kampus.
Tahun-tahun terakhir menjelang
reformasi 1998, gerakan dakwah kampus ini mulai mempunyai bargaining
position (posisi tawar) dalam dunia perpolitikan, baik internal kampus
dalam bentuk BEM, SM; maupun perpolitikan negara. Saat itulah kemudian, gerakan
dakwah kampus mengalami transformasi dalam bentuk ormas Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia (KAMMI).
Kutub Kebangkitan Islam
Kelahiran KAMMI lewat Deklarasi Malang tak bisa dipisahkan dari
konteks sejarah Indonesia saat itu yang tengah dilanda krisis kepemimpinan, ekonomi,
sosial, politik dan keamanan, menjelang kejatuhan rezim Soeharto. Aktivis LDK
yang disebut-sebut sebagai ikon kebangkitan Islam di kampus terpanggil untuk
mengarahkan dan mengamankan proses perubahan Indonesia, dan sepakat membentuk
KAMMI sebagai wadah perjuangannya. Hingga kemudian KAMMI tercatat sebagai salah
satu motor gerakan reformasi Mei 1998.
Dalam analisa Imam Mardjuki—anggota pendiri KAMMI, Ketua KAMMI
Semarang 2000-2002, Ketua LDK Undip 1998-1999—(www.kammi.or.id.,
29/10/04) perjuangan KAMMI berangkat dari tiga kutub kebangkitan. Pertama,
kutub revivalisasi. Revivalisasi lahir dari semangat ingin mengambil ajaran
Islam secara murni dengan merujuk langsung kepada orisinalitas dan integralitas
Islam generasi pertama. Revivalisasi adalah upaya membangun kembali Islam
secara kaffah sebagaimana diajarkan dan diteladankan Nabi Muhammad SAW.
Semangat kembali kepada ajaran salaf (generasi awal Islam)
ini merupakan perlawanan atas sekularisasi yang telah menjauhkan umat Islam
dari ajaran agamanya serta memunculkan pemikiran dan praktik keislaman yang
parsialistik. Karena itulah, revivalisasi KAMMI ingin membangun Islam secara
utuh mencakup seluruh aspek kehidupan.
Kedua, kutub adaptasi. Islam di mata KAMMI bukanlah dogma beku, kolot,
antiperubahan atau kontra-modernisme. Islama adalah ideologi dinamis yang
menyeimbangkan antara hal-hal yang tetap (ats-tsawabit) dan fleksibel (mutaghayyirat),
karena Islam pada dasarnya idealita yang hanya bermakna bila direalisasikan di
alam nyata. Di mata Sayyid Quthb, kesejatian seorang muslim bukanlah pada apa
yang mereka pikirkan atau percayai, melainkan apa yang mereka perbuat di dunia
ini. Pada kenyataannya, penerapan Islam di alam realita ini membutuhkan
adaptasi-adaptasi.
Karena itu, semangat kembali kepada ajaran salaf yang
didakwahkan KAMMI sangat welcome terhadap dinamika zaman di era khalaf
(mutakhir). KAMMI sependapat dengan ulama kontemporer Syekh Yusuf Qordhowi
bahwa pembumian Islam dari ranah idealita ke ranah realita di era modern harus
memperhatikan tiga konsepsi pemahaman: fiqhul waqi’i (pemahaman atas
realitas), fiqhul aulawiyat (pemahaman atas prioritas kebutuhan) dan fiqhul
muwazanat (pemahaman atas perkembangan zaman).
Kutub ketiga adalah visi. Visi KAMMI adalah membentuk
masyarakat Islami di Indonesia (GBHO KAMMI 2004-2006 Bab II Pasal 2), selain melahirkan pemimpin bangsa masa depan bagi umat dan bangsa
ini. Umat
Islam memang mayoritas di Indonesia, tapi hanya mayoritas statistik, bukan
mayoritas substantif. Kenyataan ini menjadikan perjuangan KAMMI akan menjadi
sangat beralasan untuk mendapat dukungan penuh dari seluruh elemen umat Islam
di Indonesia.
Khatimah
Kelahiran KAMMI merupakan sebuah
keniscayaan sejarah. Latar belakang yang menyebabkan lahirnya KAMMI menuntut
untuk terus berdiri kokoh menentang kedzaliman di muka bumi ini. Idealisme
kemahasiswaan dan keindonesiaan yang dimiliki KAMMI niscaya menjadi pemantik
bagi bara perjuangan berikutnya.
Saat ini, ketika sudah bertambah
umur, KAMMI harus lebih matang. Baik dalam pengelolaan kadernya maupun ketika
mengambil keputusan politik etis-strategisnya. Jangan sampai KAMMI terjebak
dalam euforia politik praktis yang seringkali menjerembabkan dalam jurang
pragmatisme.***
*) Amin Sudarsono, Ketua Departemen Kajian
Strategis KAMMI Daerah Istimewa Yogyakarta 2004-2006; mahasiswa Universitas
Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
BalasHapusSalam wa rahmah
Dialog pria muslim
Jawapan:
"Pembaharuan vs. Penghapusan Sunnah Rasulullah SAW"?
1. Bukan semestinya setiap 100 tahun ada seorang mujaddid.
2. Dan pengertian "mujaddid" bukanlah dalam konteks menghapuskan sebahagian Sunnah Rasulullah SAW.
3. Sehingga melakukan sebahagian Sunnah Rasulullah SAW dikira bidaah pula?
4. Menziarah kubur Nabi SAW dikira bidaah oleh Wahabi. Sedangkan ia adalah tidak. Fatimah Zahra' telah menziarahi kubur bapanya.
5. Tidakkah para sahabat menziarahi kubur Nabi SAW, Abu Ayyub al-Ansari meratap dan bertawassul di kubur Nabi SAW?
6. Hadis mengenai tajdid adalah hadis yg lemah (dha'if).
7. Ia tidak ada dalam Sahih al-Bukhari dan Muslim.
8. Kenapa mereka tidak menyebut Imam Ali, Imam Hasan, Imam Husain sebagai "mujaddidun" selepas Rasulullah saw?
9. Ini disebabkan "mereka" bukan"mujaddidun" (mufrad mujaddid).
10. Mereka adalah muslihuun.
11. Justeru, mana-mana pembaharuan dalam Islam tidak boleh menyalahi al-Qur'an dan Hadis.
12. Menurut Khalifah Ali AS bahawa Khalifah-khalifah sebelumnya, mereka telah mengubah Sunnah Rasulullah dengan sengaja.
13. Justeru, ia bukan pembaharuan namanya, malah ia adalah penghapusan Sunnah Rasulullah SAW itu sendiri.
14. Khalifah Ali AS telah berkata: Khalifah-khalifah sebelumku telah mengubah Sunnah Rasulullah SAW dengan sengaja, sila rujuk:
https://drive.google.com/file/d/0B6ut4qmVOTGWY0dEVk9UekR1c0E/view?usp=drivesdk
https://drive.google.com/file/d/0B6ut4qmVOTGWejJIMF9JMXE5blE/view?usp=drivesdk
https://drive.google.com/file/d/0B6ut4qmVOTGWdXZubUJzRHllXzQ/view?usp=drivesdk
https://drive.google.com/file/d/0B6ut4qmVOTGWNkFHUnRNYld6N1k/view?usp=drivesdk
https://drive.google.com/file/d/1VekxM-_yYqUhFQnSRynylmHKBg65OSnx/view?usp=drivesdk
almawaddah.info