Selasa, 07 Mei 2013

Bidadari Kecil (bagian 1)


Asih Handayani | @asih_aha27



Langit hari ini berwarna jingga. Namun tak indah, justru warna yang menggambarkan kepedihan di tengah terik yang membakar. Kepulan asap yang membumbung sisa lemparan geranat dua jam yang lalu masih tebal, angkuh menari mengusir unsur udara yang lain.
Di sebuah bangunan yang sudah tak dapat lagi disebut bangunan, dua orang berseragam menyandra seorang anak perempuan usia enam tahun. Seorang diantara mereka tampak dengan sibuknya mengepulkan asap rokok dari mulutnya. Sesekali ia semburkan asap pengap itu ke muka orang berseragam di sampingnya yang tampak berjaga-jaga. Yang disembur diam saja, mungkin bawahannya. Beberapa saat kemudian seseorang dengan pakaian biasa datang ke tempat itu.
“Selamat datang, Dave...” si perokok itu menyapanya dingin.
“sudah kuduga kau akan datang untuk gadis kecilmu ini,” lanjutnya.
“Apa kabar, George?” tanya balik lelaki itu.
“Tentu sangat jauh lebih baik darimu, Dave” senyumnya menyeringai, angkuh dan dingin.
“Kau salah George, aku yang jauh lebih baik darimu.Sekarang aku bebas.Tidak lagi menjadi robot sepertimu”
“Sudahlah Dave, hentikan omong kosongmu!Sebentar lagi kau tidak akan bebas. Kau hanya ada dua pilihan. Kembali pada kami atau mati...”
“Aku lebih baik mati dari pada kembali pada sekumpulan orang berhati binatang seperti kalian. Aku juga yakin sebenarnya kau pun muak pada para atasanmu, tapi kau tidak berani membantah. Kau takut dibunuh.Iya kan, pecundang?” David tersenyum mencaci.
George mulai geram, ia lemparkan puntung rokok di tangannya kemudian sepatunya menggilas dengan amarah.
“Keparat…..jaga mulutmu!!”
George memberikan isyarat pada anak buahnya untuk menyerahkan anak perempuan itu pada George. Dua detik kemudian anak itu telah ada pada dekapan George, dengan sebuah pistol diarahkan tepat ke kepala anak itu.
“Paman Dave, aku tidak apa-apa,” kata anak itu tersenyum menenangkan.
“Iya, sayang. Sebentar ya, paman akan menolongmu.” Kata David dengan nada yang sangat hangat. Kuat sekali gadis kecil itu.
“Ah…dramatis sekali kalian. Kau membuang waktuku Dave, seharusnya hari ini pelantikan kenaikan jabatanku kalau saja aku tidak di perintahkan untuk menangkapmu,” matanya angkuh.
“Apa peduliku? Sekarang, serahkan anak itu!”
“Apa istimewanya anak ini Dave, hingga kau rela melepaskan posisimu sebagai prajurit terbaik, dan menjadi buronan”
“Yang jelas sangat jauh lebih berharga daripada manusia busuk sepertimu!”
***
Ya, Aisyah. Bagi David anak itu memang sungguh berharga. Tepatnya sekitar satu bulan yang lalu, saat tentara Israel, berpatroli di bumi Gaza. David saat itu kehabisan amunisi, lengannya terserempet belati kecil lontaran anak Gaza dan parahnya ia ditinggalkan begitu saja oleh kelompoknya. Ia hanya bisa mengumpat kesakitan. Tanpa diduga seorang gadis kecil berkerudung putih datang menghampirinya. Jika ditaksir kira-kira usianya enam tahunan. Apa yang ia lakukan? Membalut luka David.
“Paman sedang apa di sini?” tanyanya tenang sembari membersihkan luka David.
“E…..e….tidak, hanya sedang jalan-jalan,” David gagap, ia tahu itu adalah jawaban yang sangat konyol.
“Aku tahu, Paman dan teman-teman Paman akan membunuh kami, kan?” lagi-lagi anak itu tersenyum tenang.
“Ap…apa? Lalu kenapa kau menolongku?” David terkejut, ia sadar pertanyaannya terlalu dini untuk ditanyakan pada anak sekecil itu.
“Kata Ayah, sesama manusia itu harus saling tolong-menolong,” katanya polos.
Sesederhana itukah alasannya? Bahkan anak itu mau menolong orang yang mungkin nantinya justru akan membunuhnya. Semulia itukah anak-anak Gaza? David mulai berfikir dan meresapinya dengan hati. Kejadian sederhana dan kalimat sederhana dari seorang bocah yang membuatnya sadar dan malu.
Selama ini memang nuraninya memberontak, ia tidak pernah dengan sepenuh hati melakukan pekerjaannya. Tapi ia juga memperhitungkan resiko. Ia pasti akan dibunuh jika membelot. Pasti. Dan ia belum siap mati. Tapi itu dulu. Dulu sebelum hatinya benar-benar dipermalukan oleh gadis kecil yang baru saja ia temui, ia benar-benar merasa dipecundangi. Setelah mengenal gadis kecil itu, sedikit demi sedikit ia buang sikap dinginnya. Diam-diam ia mulai sering mengunjungi anak itu tanpa sepengetahuan atasannya. Bahkan ia juga mengunjungi keluarga dan kerabat anak itu yang tentunya sudah tak utuh lagi. Awalnya memang David kurang begitu diterima karena statusnya sebagai tentara Israel. Tapi kemudian ia diterima, entah dengan alasan apa, mungkin memang seperti itulah watak orang Gaza. David mulai merasakan kehangatan yang bahkan seumur hidup baru kali ini dia dapatkan. Berbeda dan lebih bermakna.
***
Negosiasi antara David dan George masih alot. Tenang, tapi dingin.
“Bagaimana jika anak ini aku bunuh saja?”
“Sederhana saja, aku juga akan membunuhmu dan seluruh anak buahmu, bahkan kalau perlu Jendralmu yang terhormat itu juga bisa mati di tanganku” kata David tenang, tapi sungguh hatinya bergemuruh tak rela.
“Aaarrgggh….sekarang hanya ada dua pilihan, kau kembali atau anak ini mati” George semakin kuat mencengkeram Aisyah, pistolnya masih setia di pelipis kepala.
“Duarrrr….!” bunyi pistol memuntahkan peluru.
David memuntahkan peluru dari pistolnya dengan tiba-tiba. Tepat menyerempet lengan kiri George, darah hangat mulai mengucur dari lapisan kulitnya yang terbalut kain tebal khas prajurit. Secara reflek ia pegangi lengannya, Aisyah terlepas terpelanting ke salah satu sudut ruangan. Dengan sigap, David menangkap anak itu dan melindunginya di balik badannya.
“Bodoh……. Kenapa kau diam saja?!” umpat George kepada anak buahnya yang sama sekali tidak tanggap.
“Haha…. Apa ku bilang, robot, menunggu komando majikan,” ejek David sambil tetap siaga mengacungkan pistolnya.
“Sayang, kau harus pergi dari sini, keluarlah, disini berbahaya,” pinta David pada gadis kecil kesayangannya.
“Tapi, Paman….”
“Sudah, sekarang lari dari sini….” Aisyah menuruti perintah David, ia berlari keluar. Tapi sebelum sampai di luar, anak buah George melepaskan satu tembakan hingga tepat mengenai kaki kiri Aisyah.  Seketika darah segar mengucur.
“Aaawww….” Pekiknya kesakitan.
“Kurangajar…….!!!!” Mata David memerah, marah.
Dilepaskannya dua tembakan timah panas tepat di dada kiri anak buah George. Tapat di jantung, seketika itu pula ia mati. Kemampuan menembak David memang tak diragukan lagi. Wajar karena dia memang seorang prajurit terbaik calon Jendral. Kalau ia tidak membelot.
Kini giliran George melepaskan tembakan saat David tengah terkonsentrasi pada luka Aisyah. Lontaran timah panasnya mengenai lengan kanan David. David memekik menahan sakit. Didekapnya erat gadis kecilnya agar tak terluka lagi.
“Paman, aku baik-baik saja” dalam keadaan seperti ini masih sempat ia berkata menenangkan, mungkin memang sepertu ini mental orang-orang Gaza.
George kembali siaga menembak, sebelum dengan sigapnya David mengambil selempeng pisau lipat di sepatunya, kemudian melempar hingga menancap tepat pada tangan kanan George. Pistolnya terlepas. Ia hanya bisa mengumpat, melontarkan segala sumpah serapahnya sambil bersusah payah mencabut pisau di tangannya. Darah kembali deras mengucur.
George tak kehilangan akal, diambilnya pistol cadangan yang memang sengaja ia selipkan di punggungnya. Dimuntahkan pelurunya kearah Aisyah yang masih kepayahan, dan kali ini mengenai lengan kanannya. Aisyah kembali kesakitan, tapi ditahannya.
“Hahaha…..bagaimana Dave? Mau lagi?” kelakarnya dingin dan hampa.
David semakin diburu amarah. Sialnya amunisi pistol yang dimilikinya habis. Diambilnya bongkahan batu bata yang cukup besar kemudian menyeret langkahnya ke arah George. George sadar jiwanya terancam hingga kemudian ia memutuskan melepaskan beberapa tembakan kearah David. Kini kaki kiri, lengan, perut dan bahunya dipenuhi lubang yang memancarkan cairan merah segar. Tapi kakinya tak berhenti melangkah sampai ia mendapatkan leher George. Ia pukulkan sekeras-kerasnya batu yang ia pegang dengan amarah yang tinggi. Kepala George berdarah-darah. Namun ia masih punya kesempatan untuk membalas, dipukulnya kepala David dengan pistol yang digenggamnya. David tampak kehabisan darah, ia ambruk. George tertawa penuh kemenangan, tawa yang menjijikan. Ia lengah dari kewaspadaannya hingga tanpa disadari David telah mengambil pistolnya yang terjatuh. Dalam hitungan detik di kepala George telah tercipta lubang yang mengucurkan darah nista. Dan dalam hitungan detik pula dapat dipastikan orang itu mati.
David cepat teringat pada gadis kecilnya yang masih terkapar kesakitan, darah yang dikeluarkannya cukup banyak. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Ia kumpulkan sisa tenaganya untuk membopong Aisyah ke perkampungan, atau setidaknya tempat yang ada cukup banyak orang untuk dimintai tolong. Lima ratus meter kali ini terasa sangat jauh bagi David. Tidak seperti biasanya ia bisa melahap berpuluh kilometer saat latihan militer, tapi kali ini keadannya berbeda. Terkadang jalanan terasa gelap, kemudian berubah warna menjadi oranye, kemudian berubah lagi seolah beribu serangga terbang di hadapannya. Matanya mulai berkunang-kunang, keringat dinginnya membanjir. Seratus meter lagi, tapi raganya sudah tidak menyanggupi. Langkahnya semakin terseok dan melemah hingga akhirnya ia ambruk di bawah pohon yang tidak terlalu tinggi. Segerombol orang melihatnya lalu mulai berisik, berteriak. David tidak mendengarnya dengan jelas, terakhir yang ia dengar adalah
“Bawa tandunya ke mari, cepat!”
Dan tiba-tiba semuanya gelap.
***

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© Blog Komisariat KAMMI UNY
Maira Gall