Selasa, 07 Mei 2013

Ibnu Khaldun; (ajaran) Fanatisme Kepemimpinan


*berkaitan dengan kalimat pertama dalam catatan ini, itu karena awalnya saya memberi judul Generasi yang Hancur

Panca Zumbon | @5_zumbon

Ketika sebuah pembahasan telah sampai pada kesimpulan tentang hancurnya sebuah generasi. Maka disana pastilah membahas tentang kepemimpinan dan fanatisme. Kepemimpinan hanya mampu direbut oleh mereka yang memiliki fanatisme yang tinggi melebihi golongan yang berada di sekelilingnya. Pertanyaannya, apakah benar antara fanatisme dan kepemimpinan berkaitan?
Fanatisme menurut thesaurus memiliki padanan kata keyakinan, keteguhan, orthodoksi. Sedangkan dalam KBBI fanatik memiliki arti teramat sangat kuat kepercayaannya (keyakinannya) terhadap ajaran (politik, agama, dsb.). Menurut saya, kita tidak bisa menghakimi apakah fanatisme itu baik atau buruk. Karena fanatisme hanyalah sebuah kata, kita bisa memvonis fanatisme baik atau buruk ketika sudah ada praktiknya, jadi yang dinilai adalah praktik fanatisme, bukan fanatisme itu sendiri.
Ketika kepemimpinan hanya dapat diraih dengan kekuasaan, maka disana mutlak diperlukan fanatisme!. Ibnu khaldun dalam muqaddimah nya menjelaskan “fanatisme mereka yang menduduki tampuk kepemimpinan haruslah lebih kuat dibanding fanatisme-fanatisme lain yang ada diantara mereka, sehingga memungkinkannya dapat menguasai dan meraih puncak kepemimpinan dengan baik. Sebab jika kekuasaan tersebut keluar dari kalangan mereka dan berpindah ke fanatisme yang lain, maka mereka tidak dapat memimpin dengan baik. Perlu diingat, kepemimpinan tersebut tidak akan berpindah kecuali kepada golongan yang memiliki fanatisme yang lebih kuat”.
Yang menjadi menarik adalah, banyaknya fakta yang menunjukkan bahwa adanya satu golongan tunggal yang mampu mempertahankan tampuk kepemimpinan secara abadi. Ini menunjukkan bahwa sifat kepemimpinan adalah dinamis, ia senantiasa berpindah. Kepada siapakah kepemimpinan berpindah? Jelas, kepada golongan yang memiliki fanatisme atau keyakinan yang jauh lebih kuat dibanding golongan yang sedang memimpin. Pertanyaan pentingnya adalah, berapa lamakah usia fanatisme kepemimpinan mampu bertahan?
Rosulullah pernah menggambarkan ketahanan fanatisme kepemimpinan dalam sebuah hadits riwayat Bukhari dalam kitab Al-Anbiya’ “sesungguhnya orang mulia, putra orang mulia, putra orang mulia, putra orang mulia adalah Yusuf bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim.” Pun dalam taurat disebutkan “Allah Tuhanmu adalah Dzat yang mengawasi dan mencemburui. Dia akan meminta pertanggungjawaban dosa-dosa orang tua kepada anaknya selama tiga hingga empat generasi.” Hadits ini memberikan pengertian bahwa ketahanan fanatisme kepemimpinan pada umumnya hanya bertahan pada empat generasi.
Tidakkah kita bertanya, mengapa fanatisme kepemimpinan hanya bertahan pada empat generasi? Ibnu Khaldun menjelaskan dengan apik bahwa:
Generasi pertama adalah generasi yang memiliki fanatisme tinggi lantas memperjuangkan kepemimpinannya. Sehingga mereka mengetahui segala sesuatu yang dibutuhkan dalam membangun kepemimpinan tersebut. Selain itu, mereka mampu menjaga karakter yang merupakan rahasia dibalik eksistensi dan kelanggengan kepemimpinannya.
Generasi kedua adalah generasi yang melanjutkan kebesaran generasi pertama dengan bermodalkan pengajaran yang didengan dan diwarisinya dari generasi pertama. Hanya saja kualitas pengajaran dan pewarisan kebesaran tersebut mengalami kekurangan, layaknya keterbatasan pemahaman seseorang yang mendengar atas pengertian tentang sesuatu.
Generasi ketiga adalah generasi yang hanya sekedar mengikuti jejakdan melanjutkan tradisi dari dua generasi sebelumnya. Dengan realitas semacam ini, maka bisa dipastikan bahwa kualitas pengajaran yang diterima generasi ketiga tidak sepadan dengan kualitas pengajaran yang diterima generasi kedua.
Generasi keempat pada umumnya adalah generasi yang mengalami penurunan kualitas multi-aspek. Selain itu, generasi keempat memiliki persepsi bahwa kepemimpinan bukanlah hasil kerja keras, tetapi susuatu yang biasa saja yang sudah mereka terima sejak lahir. Sehingga digambarkan bahwa generasi keempat adalah generasi yang menunggu kehancuran!
Lantas bagaimana nasib generasi kelima, keenam, dst? Dalam surat Ibrahim ayat 19-20 menjelaskan “tidakkah engkau perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan langit dan bumi dengan haq? Jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakan kamu dan mengganti(mu) dengan makhluk yang baru, dan yang demikian itu sekali-kali tidak sukar bagi Allah.”
Berkaitan dengan surat Ibrahim ayat 19-20, saya pribadi pernah mengikuti sebuah kajian yang membahasnya. Tafsir dari ayat diatas setidaknya ada dua, gambaran ringkasnya sebagai berikut:
Pertama, jika sebuah golongan dari kalangan umat Islam tidak memiliki ghiroh yang baik dalam berdakwah dan tidak memiliki kepahaman yang bagus dalam beragama, maka akan digantikan dengan golongan yang lain yang seagama dengan mereka (Islam).
Kedua, jika umat islam tidak memiliki sensitifitas yang tinggi dalam berdakwah. Mereka lebih cenderung pasif dan tidak mau berlelah-lelah dalam berdakwah, maka akan digantikan dengan dakwah selain Islam. Bukankah fenomena kristenisasi di daerah terpencil akibat dari dakwah Islam yang tidak menjangkau wilayah tersebut?
Sebagai refleksi, dalam konstelasi kepemimpinan dakwah kampus UNY, mari kita menarik nafas dalam-dalam dan sejenak menghitung, siapakah diantara kita yang berhak mewarisi kemuliaan sebagaimana gambaran generasi pertama nya Ibnu Khaldun? Dan angkatan berapakah yang menjadi sebab sekaligus saksi kehancuran kepemimpinan dakwah kampus UNY? Dengan memohon kepada Allah, semoga generasi keempat itu bukan angkatan saya (2009).
Tidaklah menjadi penting mendiskusikan siapa yang akan menjadi generasi keempat, yang lebih penting adalah, setiap kita harus memiliki sikap skeptic pada angkatannya masing-masing. Jangan-jangan memang angkatan kita lah yang ditakdirkan sebagai generasi keempat! Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah, apakah tampuk kepemimpinan benar-benar hanya bertahan sampai empat generasi? Tidak adakah cure atau formula untuk memperpanjangnya?
Ada. Lain ibnu khaldun lain Burns. Jika ibnu khaldun memakai fanatisme, maka Burns mengenalkan konsep kepemimpinan transformasional.
… dari penelitian  deskriptif  mengenai pemimpin-pemimpin  politik.  Burns, menjelaskan  kepemimpinan transformasional  sebagai  sebuah proses  yang  padanya  para  pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat  moralitas  dan  motivasi  yang lebih  tinggi.  Para  pemimpin  tersebut mencoba menimbulkan kesadaran dari para  pengikut  dengan  menyerukan cita-cita  yang  lebih  tinggi  dan  nilai-nilai  moral  seperti  kemerdekaan, keadilan.  dan  kemanusiaan,  bukan didasarkan  atas  emosi,  seperti misalnya  keserakahan,  kecemburuan, atau  kebencian.  Kepemimpinan  yang seperti  inilah  yang  sekarang  ini diharapkan  agar  dapat  lepas  dari aneka  macam  'krisis’
Dari sejak awal pembahasan empat generasi kepemimpinan Ibnu Khaldun sampai dengan teori kepemimpinan transformasional nya Burns, kita bisa menarik benang merah atas solusi keberlangsungan kepemimpinan. Ilmu dan motivasi. Jika proses transformasi ilmu dari generasi ke generasi berjalan dengan baik dan konsisten, maka tidak ada istilah generasi keempat. Transformasi ilmu yang saya maksud adalah transformasi ilmu agama dan kepemimpinan. Tidak ada cara yang lebih baik untuk mempelajari ilmu agama selain dengan guru (ustadz, kiyai, syaikh, dsb). Dan tidak ada cara yang paling efektif sekaligus paling menarik dalam mempelajari ilmu kepemimpinan selain dengan mencoba kepemimpinan itu sendiri!. Sedangkan motivasi adalah cara untuk membuat kita tetap mempelajari ilmu, sampai masuk liang lahat nanti.
Akhir cerita dari catatan ini adalah, dengan cara apakah kita bisa melangsungkan transformasi ilmu dan motivasi dalam rangka meneruskan estafet kepemimpinan dakwah kampus? Dengan cara apakah kita mempertahankan kekokohan fanatisme kepemimpinan generasi pertama? Tidak lain jawabannya adalah HALAQOH.
Seberapa rajinkah kita menimba ilmu?
Seberapa rajinkah kita membagi ilmu?
Berapa kelompok halaqoh yang kita kelola?
Berapa MUTAROBBI kita?


#semoga catatan ini bisa menginspirasi saya pribadi dan antum sekalian, sehingga dengan catatan ini bisa menjadi sarana penggugur dosa-dosa saya di masa lampau. Allahu wa Rosullu ‘alam bi shawab.

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© Blog Komisariat KAMMI UNY
Maira Gall