Siyasah Syar’iyah Ibnu Taimiyah
(BAB 1 Walayat)
Oleh Rakhyan Risnu Sasongko
Siyasah syar’iyah sesungguhnya merupakan bagian dari manhaj (metode)
dakwah yang turut menjaga hukum hasil kreasi manusia agar selaras dengan
hukum asli ciptaan Allah. Ia hadir sebagai sebuah tafsiran cerdas akan
hukum agung asli yang azali. Tersususn secara sistematis yang berisi
rambu-rambu ilahiyah tentang cara mengelola sebuah amanah besar dari
Allah Swt kepada manusia. Berangkat dari sebuah kegelisahan yang
mendalam tentang kondisi kaum muslimin yang mengalami kemunduran,
sebagai dampak dari kemrosotan politik dan agama. Buku siyasah sya’iyah
hadir untuk memberikan keterangan ide Islam tentang panduan ideal
mengelola bumi, manusia, dan kepemimpinan agar dapat memberikan keadilan
dan menumbuhkan kembali umat ini kepada posisi seharusnya, sehingga
mampu memberikan rahmat bagi seluruh semesta raya. Sebagai obat dari
akidah yang telah teracuni oleh berbagai amalan bid’ah dan madzhab ilmu
kalam yang menyesatkan, serta teracuni oleh filsafat.
Jika pemimpinnya rusak, niscaya rusak pula rakyat yang dipimpinnya,
demikian inilah sebuah fenomena yang menghantui pikiran Ibnu Taimiyah.
Fenomena inilah yang menurut beliau sebagai sebab utama dari kerusakan
kaum muslimin. Terampasnya negara dan kehormatan rakyatnya, dan
mendorong musuh-musuh Islam untuk menyerang umat ini dari berbagai sisi
sebab lemahnya kepemimpinan.
Ibnu Taimiyah pada kajian awal buku ini, membedah kajian mengenai
pengelolaan sebuah negara. Beliau ingin memberikan pemahaman kepada
kita, bahwa sebelum kita jauh membahas mengenai kepemimpinan dan
mekanisme melaksanakan kepemimpinan itu untuk mengelola umat yang
dipimpinnya. Terlebih dahulu kita membahas mengenai dimana wilayah
teritori kepemimpinannya dan yang dipimpin itu berada. Wilayah teritori
yang dimaksud inilah yang kemudian disebut sebagai negara.
Artinya, dalam pembahasan kepemimpinan dan mekanisme pengelolaan negara,
negaranya harus lebih dulu ada. Jika tidak ada negara, maka hal
terpenting yang harus kita kerjakan adalah menciptakan negara tersebut.
Namun, jika negara itu telah ada maka kita harus beranjak ke tahap
selanjutnya yakni menciptakan negara yang siap menerima Islam sebagai
sistem pengelolaannya. Akan tetapi, Ibnu Taimiyah tidak sedang berbicara
mengenai pentingnya strategi memperoleh sebuah negara secara syari’at.
Sehingga menjadi jelas, bahwa tahapan selanjutnya setelah negara itu ada
adalah tahapan dalam mengaplikasikan siyasah syar’iyah dan yang pertama
adalah berkaitan dengan para pengelola negara (walayat). Sebab ketika
berbicara mengani pengelolaan negara, maka ada banyak program yang
berkaitan dengan pemerataan keadilan dan distribusi kesejahteraan untuk
semua warga negara. Serta kaitannya dengan tegaknya prinsip-prinsip
agama dengan baik oleh negara. Maka pembahasan tentang pengelola negara
dan kriteria terbaik yang dibutuhkan seorang pengelola negara harus kita
tuntaskan terlebih dahulu.
Pada tahap ini Ibnu Taimiyah menekankan pentingnya persoalan walayat.
Sehingga menjadi asbab diturunkannya QS An-Nisa: 58-59, adalah pada saat
Rasulullah penaklukan kota Mekkah dan menerima kunci Ka’bah dari bani
Syaibah. Namun diturunkannya ayat tersebut megindikasikan bahwa
Rasulullah tetap mempercayakannnya kepada bani Syaibah. Sehingga sudah
menjadi sebuah kewajiban untuk mengangkat seorang pemimpin yang
berkompeten untuk menyandang tugas tersebut. Sebagai mana sabda
Rasulullah Saw:
مَنْ وُلِّيَ مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ شَيْئًا ، فَوَ لَّى رَجُلاً وَهُوَ يَجِدُ مَنْ هُوَ أَصْلَحُ .لِلْمُسْلِمِيْنَ مِنْهُ ، فَقَدْ خَان الله وَرَسُوْلُهُ
“Siapa saja yang mengangkat seseorang untuk mengurusi perkara kaum
muslimin, lalu mengangkat orang tersebut, sementara dia mendapatkan
orang yang lebih layak dan sesuai daripada orang yang diangkatnya, maka
dia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Umar bin Khatab sendiri mengatakan, “Siapa saja yang mengangkat
seseorang untuk perkara kaum Muslimin, tatkala dia diangkat orang tadi
Karena cinta dan unsur kekerabatan, dia telah berkhianat kepada Allah,
Rasul-Nya, dan kaum muslimin.”
Islam mengatur tata cara menentukan walayat bagi negara secara ideal,
yakni dengan menentukan berdasarkan kualitas kepemimpinannya. Bukan
berdasar kekerabatan atau atas dasar kecintaannya kepada seseorang.
Ukuran kemampuan (capability) menjadi prioritas dalam menentukan siapa
pemimpin berikutnya yang akan diserahi amanat untuk mengelola negara.
Kriteria ini bukan didasarkan pada ukuran kebendaan duniawi semata,
persoalan kapabilitas ini tidak berhenti pada sekedar seberapa cakap
seseorang mensejahterakan rakyatnya, bukan sekedar pada seberapa piawai
seorang pemimpin menjauhkan negaranya dari resesi ekonomi dan urusan
materi lainya. Melainkan juga pada seberapa bagus integritas dirinya di
hadapan masyarakat umum dan Tuhan. Seberapa tunduk dirinya kepada
Tuhannya, Allah Swt.
Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian berkhianat kepada
Allah, Rasul, dan berkhianat pada amanat-amanat yang diberikan kepada
kalian, padahal kalian mengetahui. Dan ingatlah bahwa harta-harta kalian
dan anak-anak kalian itu dapat menjadi fitnah bagi kalian. Dan
sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.” (QS Al-Anfal: 27-28)
Salah satu alat yang paling sederhana untuk mengukur kadar ketinggian
moral dan integritas seseorang adalah dengan agamanya. Semakin beragama
seseorang, maka kadar integritasnya akan otomatis semakin meninggi pula.
Sehingga, jika demikian ummat bukan hanya memperoleh seorang sultan,
presiden, raja atau apapun itu yang berkaitan dengan panggilan pemimpin
Negara, namun juga sekaligus sebagai pemimpin agama. Yang akan
membebaskan problem materiil rakyatnya dengan tidak meninggalkan atau
bahkan turut juga memperkuat perkara imateriil di dalamnya. Inilah
perkara kepemimpinan yang paling penting dalam Islam. Yakni kapabilitas
dan integritas. Kecakapan memimpin dan kekuatan moral yang berkharisma.
Dan ini harus jelas Nampak benar di muka ummat, riil terbukti bukan
hanya sekedar perkiraan.
Integritas seseorang, erat kaitannya dengan rasa takut kepada Allah,
tidak memperjual belikan ayat-ayat Allah dengan harga yang murah, dan
tidak memiliki rasa takut kepada sesame manusia. Ketiga karakter inilah
yang dijadikan Allah sebagai asas dalam setiap pemerintahan untuk
mengatur manusia. Sebagaimana firman Allah Swt, “Karena itu janganlah
engkau takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Ku, dan janganlah
engkau menukar ayat-ayat Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang
tidak berhukum kepada apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itulah
orang-orang yang kafir.” (QS Al-Maidah: 44).
Setalah kita menuntaskan pembahasan mengenai kriteria seorang pemimpin
negara, maka ada pembahasan selanjutnya yang perlu diselesaikan. Jika
dalam suatu negara terdapat lebih dari seorang yang memiliki kriteria
demikian, maka pertanyaannya adalah. Bagaimana menentukan pemimpin ideal
bagi masyarakat suatu negara? Maka Ibnu Taimiyah menjelaskannya bahwa
tahap selanjutnya adalalah perlu untuk ditambahkan kriteria kebertrimaan
masyarakat terhadap dirinya atau akseptabilitas. Sebab kapasitas dan
integritas belumlah cukup bagi seseorang untuk memimpin suatau entitas
masyarakat negara. Dibutuhkan akseptabilitas agar dalam proses
pengelolaan negara tidak menimbulkan konflik di tengah-tengah
masyarakat. Potensi konflik yang ditimbulkan Karena lemahnya
akseptabilitas akan jauh lebih besar, membuat pemerataan keadilan dan
distribusi kesejahteraan akan terhambat. Belum lagi kaitannya dengan
tegaknya prinsip-prinsip agama menjadi terganggu.
Pertanyaannya adalah, jika seseorang yang memiliki kriteria ideal itu
ternyata tidak ditemukan. Sekalipun bagi saya, hal itu masih jauh untuk
menjadi mungkin. Karena yang sedang kita bicarakan ini adalah sebuah
negara yang isinya tidak kurang dari 60 orang. Ada jutaan manusia dalam
suatau negara, satu saja apakah tidak ada? Jika ini memang mungkin, maka
kita bisa mempertimbangkan untung dan ruginya dalam pemilihan, mana
yang lebih mendatangkan maslahat dan lebih ringan mudharatnya sesuai
dengan kebutuhan suatu negara. Dalam kaidah fiqih, maka menghilangkan
mudharat lebih utama dari mencari manfaat.
Tidak ada komentar
Posting Komentar