Minggu, 20 November 2016

Walayat - Siyasah Syar'iyah

Siyasah Syar’iyah Ibnu Taimiyah

(BAB 1 Walayat)
Oleh Rakhyan Risnu Sasongko
 
Siyasah syar’iyah sesungguhnya merupakan bagian dari manhaj (metode) dakwah yang turut menjaga hukum hasil kreasi manusia agar selaras dengan hukum asli ciptaan Allah. Ia hadir sebagai sebuah tafsiran cerdas akan hukum agung asli yang azali. Tersususn secara sistematis yang berisi rambu-rambu ilahiyah tentang cara mengelola sebuah amanah besar dari Allah Swt kepada manusia. Berangkat dari sebuah kegelisahan yang mendalam tentang kondisi kaum muslimin yang mengalami kemunduran, sebagai dampak dari kemrosotan politik dan agama. Buku siyasah sya’iyah hadir untuk memberikan keterangan ide Islam tentang panduan ideal mengelola bumi, manusia, dan kepemimpinan agar dapat memberikan keadilan dan menumbuhkan kembali umat ini kepada posisi seharusnya, sehingga mampu memberikan rahmat bagi seluruh semesta raya. Sebagai obat dari akidah yang telah teracuni oleh berbagai amalan bid’ah dan madzhab ilmu kalam yang menyesatkan, serta teracuni oleh filsafat.

Jika pemimpinnya rusak, niscaya rusak pula rakyat yang dipimpinnya, demikian inilah sebuah fenomena yang menghantui pikiran Ibnu Taimiyah. Fenomena inilah yang menurut beliau sebagai sebab utama dari kerusakan kaum muslimin. Terampasnya negara dan kehormatan rakyatnya, dan mendorong musuh-musuh Islam untuk menyerang umat ini dari berbagai sisi sebab lemahnya kepemimpinan.
 
Ibnu Taimiyah pada kajian awal buku ini, membedah kajian mengenai pengelolaan sebuah negara. Beliau ingin memberikan pemahaman kepada kita, bahwa sebelum kita jauh membahas mengenai kepemimpinan dan mekanisme melaksanakan kepemimpinan itu untuk mengelola umat yang dipimpinnya. Terlebih dahulu kita membahas mengenai dimana wilayah teritori kepemimpinannya dan yang dipimpin itu berada. Wilayah teritori yang dimaksud inilah yang kemudian disebut sebagai negara.
 
Artinya, dalam pembahasan kepemimpinan dan mekanisme pengelolaan negara, negaranya harus lebih dulu ada. Jika tidak ada negara, maka hal terpenting yang harus kita kerjakan adalah menciptakan negara tersebut. Namun, jika negara itu telah ada maka kita harus beranjak ke tahap selanjutnya yakni menciptakan negara yang siap menerima Islam sebagai sistem pengelolaannya. Akan tetapi, Ibnu Taimiyah tidak sedang berbicara mengenai pentingnya strategi memperoleh sebuah negara secara syari’at. Sehingga menjadi jelas, bahwa tahapan selanjutnya setelah negara itu ada adalah tahapan dalam mengaplikasikan siyasah syar’iyah dan yang pertama adalah berkaitan dengan para pengelola negara (walayat). Sebab ketika berbicara mengani pengelolaan negara, maka ada banyak program yang berkaitan dengan pemerataan keadilan dan distribusi kesejahteraan untuk semua warga negara. Serta kaitannya dengan tegaknya prinsip-prinsip agama dengan baik oleh negara. Maka pembahasan tentang pengelola negara dan kriteria terbaik yang dibutuhkan seorang pengelola negara harus kita tuntaskan terlebih dahulu.
 
Pada tahap ini Ibnu Taimiyah menekankan pentingnya persoalan walayat. Sehingga menjadi asbab diturunkannya QS An-Nisa: 58-59, adalah pada saat Rasulullah penaklukan kota Mekkah dan menerima kunci Ka’bah dari bani Syaibah. Namun diturunkannya ayat tersebut megindikasikan bahwa Rasulullah tetap mempercayakannnya kepada bani Syaibah. Sehingga sudah menjadi sebuah kewajiban untuk mengangkat seorang pemimpin yang berkompeten untuk menyandang tugas tersebut. Sebagai mana sabda Rasulullah Saw:

مَنْ وُلِّيَ مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ شَيْئًا ، فَوَ لَّى رَجُلاً وَهُوَ يَجِدُ مَنْ هُوَ أَصْلَحُ .لِلْمُسْلِمِيْنَ مِنْهُ ، فَقَدْ خَان الله وَرَسُوْلُهُ

 
“Siapa saja yang mengangkat seseorang untuk mengurusi perkara kaum muslimin, lalu mengangkat orang tersebut, sementara dia mendapatkan orang yang lebih layak dan sesuai daripada orang yang diangkatnya, maka dia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya.”
 
Umar bin Khatab sendiri mengatakan, “Siapa saja yang mengangkat seseorang untuk perkara kaum Muslimin, tatkala dia diangkat orang tadi Karena cinta dan unsur kekerabatan, dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum muslimin.”
 
Islam mengatur tata cara menentukan walayat bagi negara secara ideal, yakni dengan menentukan berdasarkan kualitas kepemimpinannya. Bukan berdasar kekerabatan atau atas dasar kecintaannya kepada seseorang. Ukuran kemampuan (capability) menjadi prioritas dalam menentukan siapa pemimpin berikutnya yang akan diserahi amanat untuk mengelola negara. Kriteria ini bukan didasarkan pada ukuran kebendaan duniawi semata, persoalan kapabilitas ini tidak berhenti pada sekedar seberapa cakap seseorang mensejahterakan rakyatnya, bukan sekedar pada seberapa piawai seorang pemimpin menjauhkan negaranya dari resesi ekonomi dan urusan materi lainya. Melainkan juga pada seberapa bagus integritas dirinya di hadapan masyarakat umum dan Tuhan. Seberapa tunduk dirinya kepada Tuhannya, Allah Swt.
 
Allah berfirman:
 
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian berkhianat kepada Allah, Rasul, dan berkhianat pada amanat-amanat yang diberikan kepada kalian, padahal kalian mengetahui. Dan ingatlah bahwa harta-harta kalian dan anak-anak kalian itu dapat menjadi fitnah bagi kalian. Dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.” (QS Al-Anfal: 27-28) 
 
Salah satu alat yang paling sederhana untuk mengukur kadar ketinggian moral dan integritas seseorang adalah dengan agamanya. Semakin beragama seseorang, maka kadar integritasnya akan otomatis semakin meninggi pula. Sehingga, jika demikian ummat bukan hanya memperoleh seorang sultan, presiden, raja atau apapun itu yang berkaitan dengan panggilan pemimpin Negara, namun juga sekaligus sebagai pemimpin agama. Yang akan membebaskan problem materiil rakyatnya dengan tidak meninggalkan atau bahkan turut juga memperkuat perkara imateriil di dalamnya. Inilah perkara kepemimpinan yang paling penting dalam Islam. Yakni kapabilitas dan integritas. Kecakapan memimpin dan kekuatan moral yang berkharisma. Dan ini harus jelas Nampak benar di muka ummat, riil terbukti bukan hanya sekedar perkiraan.
 
Integritas seseorang, erat kaitannya dengan rasa takut kepada Allah, tidak memperjual belikan ayat-ayat Allah dengan harga yang murah, dan tidak memiliki rasa takut kepada sesame manusia. Ketiga karakter inilah yang dijadikan Allah sebagai asas dalam setiap pemerintahan untuk mengatur manusia. Sebagaimana firman Allah Swt, “Karena itu janganlah engkau takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Ku, dan janganlah engkau menukar ayat-ayat Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak berhukum kepada apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir.” (QS Al-Maidah: 44).
 
Setalah kita menuntaskan pembahasan mengenai kriteria seorang pemimpin negara, maka ada pembahasan selanjutnya yang perlu diselesaikan. Jika dalam suatu negara terdapat lebih dari seorang yang memiliki kriteria demikian, maka pertanyaannya adalah. Bagaimana menentukan pemimpin ideal bagi masyarakat suatu negara? Maka Ibnu Taimiyah menjelaskannya bahwa tahap selanjutnya adalalah perlu untuk ditambahkan kriteria kebertrimaan masyarakat terhadap dirinya atau akseptabilitas. Sebab kapasitas dan integritas belumlah cukup bagi seseorang untuk memimpin suatau entitas masyarakat negara. Dibutuhkan akseptabilitas agar dalam proses pengelolaan negara tidak menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat. Potensi konflik yang ditimbulkan Karena lemahnya akseptabilitas akan jauh lebih besar, membuat pemerataan keadilan dan distribusi kesejahteraan akan terhambat. Belum lagi kaitannya dengan tegaknya prinsip-prinsip agama menjadi terganggu.
 
Pertanyaannya adalah, jika seseorang yang memiliki kriteria ideal itu ternyata tidak ditemukan. Sekalipun bagi saya, hal itu masih jauh untuk menjadi mungkin. Karena yang sedang kita bicarakan ini adalah sebuah negara yang isinya tidak kurang dari 60 orang. Ada jutaan manusia dalam suatau negara, satu saja apakah tidak ada? Jika ini memang mungkin, maka kita bisa mempertimbangkan untung dan ruginya dalam pemilihan, mana yang lebih mendatangkan maslahat dan lebih ringan mudharatnya sesuai dengan kebutuhan suatu negara. Dalam kaidah fiqih, maka menghilangkan mudharat lebih utama dari mencari manfaat.

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© Blog Komisariat KAMMI UNY
Maira Gall