Selasa, 13 September 2016

Problematika Pendidikan Menantang Zaman

Bisma Putra A
Ketua BEM FIP UNY 2016
Dari seluruh rangkaian diskusi tentang pendidikan, dirasakan ada sedikit ketimpangan dalam seluruh aktivitas berfikir yang ada terhadap pendidikan. Jika menilik pada pengertian pendidikan secara sederhana dapat dimaknai sebagai suatu usaha yang direncanakan, disengaja, untuk memanusiakan manusia. Pengertian iut seakan-akan tertelan oleh luasnya cakupan "wacana modern" pendidikan.
Hal yang terkadang dilupakan oleh para praktisi pendidikan adalah membicarakan penerapan-penerapan filosofis terhadap proses pelaksanaan pendidikan itu sendiri. Konsep riil yang merupakan implementasi dari nilai-nilai filosofis pendidikan sesungguhnya sangat dibutuhkan. Hal tersebut bertujuan agar pendidikan menjadi suatu proses "mendidik" kepada peserta didik di lembaga pendidikan. Sehingga tidak melupakan bahwa sesungguhnya semua proses pendidikan itu adalah proses memanusiakan manusia.


Bukan tidak mungkin akibat melupakan hakikat dari pendidikan tersebut menjadikan kita lupa esensi dari pendidikan yang sesungguhnya. Selama ini "cakupan" pemahaman kita tentang pendidikan sangatlah sempit. Hal ini ditandai dengan "gemparnya" pemerintah dan segenap masyarakat terhadap keinginannya untuk menerapkan penanaman karakter dan kepribadian dalam pelaksanaan pendidikan. Sementara seharusnya penekanan pada penanaman karakter bangsa tidak "sekarang" tapi "sejak" pendidikan itu ada. Berarti bahwa memang terdapat "black Hole" dari seluruh rangkain proses pendidikan kita.
Ada kemusykilan yang terjadi dalam penyusunan seluruh perangkat pendidikan kita di Indonesia. Ketidaksinambungan kurikulum, pendidikan yang terpotong-potong dengan pergantian menteri kemudian bergantipula kebijakan, otonomisasi dalam dunia pendidikan dan strategi dalam rangka peningkatan kualitas output pendidikan menjadi hal yang tidak dirumuskan secara jelas dan gamblang sehingga dalam proses pelaksanaan pendidikan, tenaga-tenga pendidik tidak mampu secara nyata mensosialisasikan nilai-nilai filosofis pendidikan tersebut kepada anak didik. Tentu hal tersebut sangatlah jauh dari konsep dasar pelaksanaan pendidikan itu sendiri.
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data menurut UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Kemudian menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survey dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Kelemahan dalam dunia pendidikan kita kemudian tidak pernah dijadikan sebagai landasan pijak untuk menyelesaikan seluruh permasalahan pendidikan tersebut. Seyogyanya semua itu mampu dirancang secara tepat dan jelas terhadap seluruh perangkat yang mempunyai peran penting dalam peningkatan kualitas pendidikan kita.
Analisis kebutuhan, studi efektifitas dan perumusan filosofi dasar dari sistem pendidikan tidak pernah tersentuh secara nyata. Padahal hal tersebut merupakan sebagian kecil dari pokok pembahasan filsafat pendidikan yang dapat memberikan jaminan sukses tidaknya pelaksanaan pendidikan. Hal ini membuktikan terjadinya perubahan orientasi berpijak dalam pelaksanaan pendidikan.
Latar belakang pendidikan juga telah dijadikan tolak ukur strata sosial di masyarakat. Dengan demikian pendidikan yang diikuti tidak sebagai sebuah proses untuk menciptakan kematangan pribadi. Akan tetapi berorientasi kepada keinginan untuk medapatkan posisi dalam strata sosial yang lebih tinggi dari sebelumnya. Nilai tersebut sesungguhnya bertentangan nilai-nilai filosofis pendidikan tersebut.
Bukankah pendidikan menjadikan manusia sama kedudukannya dalam masyarakat. Namun pada saat ini, penggunaan gelar tidak menjadi cerminan terhadap spesifikasi pengetahuan yang dapat diaplikasikan terhadap kepentingan masyarakat. Akan tetapi Gelar kesarjanaan hanya menjadi Gelar "kebangsawanan" yang tidak punyai nilai praktis di masyarakat. Hal "kecil" tersebut yang mestinya harus dipikirkan pemecahannya.
Kemudian, secara umum terjadinya perubahan orientasi pelaksanaan pendidikan akan mengahancurkan dan menjauhkan proses pendidikan. Perubahan orientasi pelaksanaan pendidikan tersebut membawa kearah pembentukan kematangan pribadi dari seluruh rakyat Indonesia. Jika demikian lebih tepat jika pelaksanaan pendidikan tersebut dikembalikan pada metode, dan sistem pendidikan tradisional yang lebih meberikan jaminan dalam pembentukan kematangan pribadi bagi anak bangsa.

Sumber            :           1. Ilmu Pendidikan – Dwi Siswoyo dkk
                        2. Data UNESCO  Tahun 2000 - Human Development Index)

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© Blog Komisariat KAMMI UNY
Maira Gall