Bisma Putra A Ketua BEM FIP UNY 2016 |
Dari seluruh rangkaian diskusi tentang pendidikan, dirasakan ada sedikit
ketimpangan dalam seluruh aktivitas berfikir yang ada terhadap pendidikan. Jika menilik pada pengertian
pendidikan secara sederhana dapat dimaknai
sebagai suatu usaha yang direncanakan, disengaja, untuk memanusiakan manusia. Pengertian iut seakan-akan
tertelan oleh luasnya cakupan "wacana modern" pendidikan.
Hal yang terkadang dilupakan oleh para praktisi
pendidikan adalah membicarakan penerapan-penerapan filosofis terhadap proses
pelaksanaan pendidikan itu sendiri. Konsep riil yang merupakan implementasi
dari nilai-nilai filosofis pendidikan sesungguhnya
sangat dibutuhkan.
Hal tersebut bertujuan agar pendidikan
menjadi suatu proses "mendidik" kepada peserta didik di lembaga
pendidikan. Sehingga
tidak melupakan bahwa sesungguhnya semua proses pendidikan itu adalah proses
memanusiakan manusia.
Bukan tidak mungkin akibat melupakan hakikat dari pendidikan
tersebut menjadikan kita lupa esensi dari pendidikan yang sesungguhnya. Selama ini
"cakupan" pemahaman kita tentang pendidikan sangatlah sempit. Hal ini
ditandai dengan "gemparnya" pemerintah dan segenap masyarakat
terhadap keinginannya untuk menerapkan penanaman karakter dan kepribadian dalam
pelaksanaan pendidikan. Sementara seharusnya penekanan pada penanaman karakter
bangsa tidak "sekarang" tapi "sejak" pendidikan itu ada.
Berarti bahwa memang terdapat "black Hole" dari seluruh rangkain
proses pendidikan kita.
Ada kemusykilan yang terjadi dalam penyusunan
seluruh perangkat pendidikan kita di Indonesia. Ketidaksinambungan kurikulum, pendidikan
yang terpotong-potong dengan pergantian menteri kemudian bergantipula
kebijakan, otonomisasi dalam dunia pendidikan dan strategi dalam rangka
peningkatan kualitas output pendidikan menjadi hal yang tidak dirumuskan secara
jelas dan gamblang sehingga dalam proses pelaksanaan pendidikan, tenaga-tenga
pendidik tidak mampu secara
nyata mensosialisasikan nilai-nilai filosofis pendidikan tersebut kepada anak
didik. Tentu hal tersebut sangatlah jauh dari konsep dasar pelaksanaan
pendidikan itu sendiri.
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat
memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data menurut UNESCO (2000)
tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat
pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan,
bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara
di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105
(1998), dan ke-109 (1999).
Kemudian menurut survei Political and Economic Risk
Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12
dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang
dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya
saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang
disurvei di dunia. Dan masih menurut survey dari lembaga yang sama Indonesia
hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53
negara di dunia.
Kelemahan dalam dunia pendidikan kita kemudian tidak
pernah dijadikan sebagai landasan pijak untuk menyelesaikan seluruh
permasalahan pendidikan tersebut. Seyogyanya semua itu mampu dirancang secara tepat dan jelas
terhadap seluruh perangkat yang mempunyai peran penting dalam peningkatan
kualitas pendidikan kita.
Analisis kebutuhan, studi efektifitas dan perumusan
filosofi dasar dari sistem pendidikan tidak pernah tersentuh secara nyata.
Padahal hal tersebut merupakan sebagian kecil dari pokok pembahasan filsafat
pendidikan yang dapat memberikan jaminan sukses tidaknya pelaksanaan
pendidikan. Hal ini membuktikan
terjadinya perubahan orientasi berpijak dalam pelaksanaan pendidikan.
Latar belakang pendidikan juga telah dijadikan tolak
ukur strata sosial di masyarakat. Dengan demikian pendidikan yang diikuti tidak
sebagai sebuah proses untuk menciptakan kematangan pribadi. Akan tetapi berorientasi kepada
keinginan untuk medapatkan posisi dalam strata sosial yang lebih tinggi dari
sebelumnya. Nilai tersebut sesungguhnya bertentangan nilai-nilai filosofis pendidikan
tersebut.
Bukankah
pendidikan menjadikan manusia sama kedudukannya dalam masyarakat. Namun pada saat ini, penggunaan
gelar tidak menjadi
cerminan terhadap spesifikasi pengetahuan yang dapat diaplikasikan terhadap
kepentingan masyarakat. Akan tetapi Gelar kesarjanaan hanya menjadi Gelar
"kebangsawanan" yang tidak punyai nilai praktis di masyarakat. Hal
"kecil" tersebut yang mestinya harus dipikirkan pemecahannya.
Kemudian, secara umum terjadinya perubahan
orientasi pelaksanaan pendidikan akan mengahancurkan
dan menjauhkan proses pendidikan.
Perubahan orientasi pelaksanaan pendidikan tersebut membawa kearah pembentukan
kematangan pribadi dari seluruh rakyat Indonesia. Jika demikian lebih tepat
jika pelaksanaan
pendidikan tersebut dikembalikan pada metode, dan sistem pendidikan tradisional
yang lebih meberikan jaminan dalam pembentukan kematangan pribadi bagi anak
bangsa.
Sumber : 1.
Ilmu Pendidikan – Dwi Siswoyo dkk
2. Data UNESCO Tahun 2000 - Human
Development Index)
Tidak ada komentar
Posting Komentar