Pendidikan sebagai Gerakan Semesta
Oleh : Bisma Putra Aprilianta
(Kebijakan Publik Komisariat KAMMI UNY)
Bukan salah Ki Hadjar Dewantara jika semboyan tentang pendidikan yang disampaikannya justru dipakai di negara lain selain Indonesia tercinta. Bukan salah para pendiri bangsa ini pula jika Pancasila ternyata tidak menjadi dasar dari segalanya yang ada di negeri ini termasuk dalam dunia pendidikan.
Terus salah siapa? Tak perlu dijawab juga karena tulisan ini dibuat bukan untuk mencari kesalahan namun mencoba memberikan satu usul dan saran tentang perbaikan dunia pendidikan Indonesia ke depan. Bicara soal gerakan semesta, maka seharusnya gerakan itu dilakukan di semua tempat, dalam suatu waktu yang sama, dan dalam segala kondisi. Gerakan semesta harus dipahami bukan sebagai pemaksaan kehendak satu pihak atas pihak yang lain namun berlandaskan keinginan yang sama yang berawal dari buah pikiran yang luhur untuk kemajuan bangsa. Dalam dunia pendidikan, gerakan semesta harus fokus pada tujuan besar dan bukan tujuan masing-masing wilayah. Tapi salahkah kalau punya tujuan wilayah?
Beberapa waktu yang lalu pernah membaca artikel tentang pendidikan di Papua, dalam artikel tersebut sempat membaca ide-ide pikiran ke depan yang diutarakan salah satu pemimpin kala itu. Papua harus punya seribu orang PHD dalam 10 tahun ke depan. Papua harus bisa mengirim anak-anaknya untuk belajar di Harvard atau bahkan MIT. Sukseskah? Ya. Sukses. Kita dapat melihat berita tentang anak-anak Papua yang mulai merambah dunia. Ada yang kuliah di MIT, Harvard, dan beberapa kampus bergengsi internasional lainnya. Jadi tidak ada yang salah mempunyai tujuan wilayah, tapi tujuan wilayah harus menjadi bagian dari tujuan besar yaitu tujuan pendidikan nasional atau bangsa.
Kesulitannya adalah bangsa ini sangat majemuk. Permasalahan di satu wilayah belum tentu menjadi masalah di wilayah lain. Kesuksesan penerapan satu program di satu wilayah bisa berbuah petaka jika diterapkan di daerah yang lain. Jadi, bagaimana caranya agar gerakan semesta dipahami di setiap wilayah sebagai gerakan luhur yang harus dilakukan bersama-sama? Jawabnya hanya satu. Kembali ke pembelajaran kontekstual. Menurut Elaine B. Johnson (2009) pembelajaran kontekstual adalah suatu sistim pengajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa. Johnson juga menyampaikan delapan komponen utama yang ada dalam pembelajaran kontekstual, yaitu:
1.Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections), sebagai individu yang sedang belajar siswa dapat menemukan minatnya dan memutuskan untuk memilih bekerja sendiri atau berkelompok, relasi dibangun berdasarkan kebutuhan bersama dan tujuan bersama. Dalam hal ini akan terjadi pula proses belajar sambil melakukan (learning by doing)
2. Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work), sebagai bagian dari suatu wilayah, bagian dari suatu masyarakat, siswa dapat berusaha menemukan masalah dalam kehidupan nyata dan berusaha mencari solusinya.
3. Belajar yang diatur sendiri (self regulated learning), untuk mencapai tujuannya siswa dapat memahami apa yang dia butuhkan. Siswa dapat mengatur apa yang harus dia pelajari terkait dengan kebutuhan tersebut
4. Bekerjasama (collaborating), hampir semua masalah yang ditemukan tidak mungkin diselesaikan sendiri. Siswa akan belajar berkomunikasi dengan baik dan juga keterampilan untuk saling mempengaruhi.
Memang tidak semua hal dapat dicapai begitu saja sesuai uraian Johnson, namun semangat pembelajaran kontekstual ternyata sudah membuahkan hasil di beberapa tempat di Indonesia.
Oh ya? Apa saja? Pernahkah pembaca mendengar atau membaca tentang pendidikan harmoni di Sulawesi Tengah? Siapa yang sudah lupa konflik berbau agama yang terjadi di Poso? Nah, itulah awal munculnya pendidikan harmoni ini. Anak atau siswa diajak untuk mencapai tiga harmoni yaitu harmoni dengan diri sendiri, harmoni dengan sekitarnya, dan harmoni dengan alam. Melalui tiga harmoni ini, sedari kecil anak tidak lagi diajar untuk berkonflik hanya karena beda agama, beda suku, atau beda-beda yang lainnya.
Konon kabarnya semangat pendidikan harmoni ini sudah tertular ke banyak sekolah di Sulawesi Tengah. Apa lagi? Pernahkan pembaca mendengar atau membaca tentang sekolah hijau di Kalimantan? Tepatnya di daerah Sajingan di dekat perbatasan RI-Malaysia? Nah, awalnya di daerah ini marak dengan pembukaan lahan sawit yang bertubi-tubi. Seolah-olah hanya untuk sawit. Hanya untuk bekerja di kebun orang. Wawasan sempit dan tidak berkembang. Konsep pendidikan menawarkan sesuatu yang lain. Anak bisa belajar dari keterbatasan. Belajar dari apa yang ada yang mereka dapat temukan dari kehidupan sehari-hari. Anak bisa belajar matematika dari menghitung setiap helai guguran daun yang jatuh tiap hari, memantaunya selama beberapa hari, dan kemudian belajar polanya sehingga akhirnya tahu berapa helai daun yang mungkin jatuh pada hari ketujuh. Hebat bukan? Bukan, karena itu hanya pikiran saya sendiri. Tidak ada pengajaran seperti itu. Tapi, kira-kira seperti itulah yang terjadi.
Referensi
1. Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia - Akhmad Muhaimin
2. Ilmu Pendidikan - Dwi Siswoyo dkk
3. Pendidikan dalam Perspektif Globalisasi - Nurani Soyomukti
*#Gerakan Intelektual Profetik*
Find us 📭
👥Facebook : Komisariat KAMMI UNY
🗣Twitter : @kammiuny
📸Instagram : @kammiuny
📚Website : uny-kammi.blogspot.com
💌Email : kammikomsatuny@gmail.com