Selasa, 31 Mei 2016

Pendidikan sebagai Gerakan Semesta

Pendidikan sebagai Gerakan Semesta
Oleh : Bisma Putra Aprilianta
(Kebijakan Publik Komisariat KAMMI UNY)


Bukan salah Ki Hadjar Dewantara jika semboyan tentang pendidikan yang disampaikannya justru dipakai di negara lain selain Indonesia tercinta. Bukan salah para pendiri bangsa ini pula jika Pancasila ternyata tidak menjadi dasar dari segalanya yang ada di negeri ini termasuk dalam dunia pendidikan. 

Terus salah siapa? Tak perlu dijawab juga karena tulisan ini dibuat bukan untuk mencari kesalahan namun mencoba memberikan satu usul dan saran tentang perbaikan dunia pendidikan Indonesia ke depan. Bicara soal gerakan semesta, maka seharusnya gerakan itu dilakukan di semua tempat, dalam suatu waktu yang sama, dan dalam segala kondisi. Gerakan semesta harus dipahami bukan sebagai pemaksaan kehendak satu pihak atas pihak yang lain namun berlandaskan keinginan yang sama yang berawal dari buah pikiran yang luhur untuk kemajuan bangsa. Dalam dunia pendidikan, gerakan semesta harus fokus pada tujuan besar dan bukan tujuan masing-masing wilayah. Tapi salahkah kalau punya tujuan wilayah? 

Beberapa waktu yang lalu pernah membaca artikel tentang pendidikan di Papua, dalam artikel tersebut sempat membaca ide-ide pikiran ke depan yang diutarakan salah satu pemimpin kala itu. Papua harus punya seribu orang PHD dalam 10 tahun ke depan. Papua harus bisa mengirim anak-anaknya untuk belajar di Harvard atau bahkan MIT. Sukseskah? Ya. Sukses. Kita dapat melihat berita tentang anak-anak Papua yang mulai merambah dunia. Ada yang kuliah di MIT, Harvard, dan beberapa kampus bergengsi internasional lainnya. Jadi tidak ada yang salah mempunyai tujuan wilayah, tapi tujuan wilayah harus menjadi bagian dari tujuan besar yaitu tujuan pendidikan nasional atau bangsa. 

Kesulitannya adalah bangsa ini sangat majemuk. Permasalahan di satu wilayah belum tentu menjadi masalah di wilayah lain. Kesuksesan penerapan satu program di satu wilayah bisa berbuah petaka jika diterapkan di daerah yang lain. Jadi, bagaimana caranya agar gerakan semesta dipahami di setiap wilayah sebagai gerakan luhur yang harus dilakukan bersama-sama? Jawabnya hanya satu. Kembali ke pembelajaran kontekstual. Menurut Elaine B. Johnson (2009) pembelajaran kontekstual adalah suatu sistim pengajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa. Johnson juga menyampaikan delapan komponen utama yang ada dalam pembelajaran kontekstual, yaitu: 

1.Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections), sebagai individu yang sedang belajar siswa dapat menemukan minatnya dan memutuskan untuk memilih bekerja sendiri atau berkelompok, relasi dibangun berdasarkan kebutuhan bersama dan tujuan bersama. Dalam hal ini akan terjadi pula proses belajar sambil melakukan (learning by doing) 
2. Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work), sebagai bagian dari suatu wilayah, bagian dari suatu masyarakat, siswa dapat berusaha menemukan masalah dalam kehidupan nyata dan berusaha mencari solusinya.
3. Belajar yang diatur sendiri (self regulated learning), untuk mencapai tujuannya siswa dapat memahami apa yang dia butuhkan. Siswa dapat mengatur apa yang harus dia pelajari terkait dengan kebutuhan tersebut 
4. Bekerjasama (collaborating), hampir semua masalah yang ditemukan tidak mungkin diselesaikan sendiri. Siswa akan belajar berkomunikasi dengan baik dan juga keterampilan untuk saling mempengaruhi.

Memang tidak semua hal dapat dicapai begitu saja sesuai uraian Johnson, namun semangat pembelajaran kontekstual ternyata sudah membuahkan hasil di beberapa tempat di Indonesia. 

Oh ya? Apa saja? Pernahkah pembaca mendengar atau membaca tentang pendidikan harmoni di Sulawesi Tengah? Siapa yang sudah lupa konflik berbau agama yang terjadi di Poso? Nah, itulah awal munculnya pendidikan harmoni ini. Anak atau siswa diajak untuk mencapai tiga harmoni yaitu harmoni dengan diri sendiri, harmoni dengan sekitarnya, dan harmoni dengan alam. Melalui tiga harmoni ini, sedari kecil anak tidak lagi diajar untuk berkonflik hanya karena beda agama, beda suku, atau beda-beda yang lainnya. 

Konon kabarnya semangat pendidikan harmoni ini sudah tertular ke banyak sekolah di Sulawesi Tengah. Apa lagi? Pernahkan pembaca mendengar atau membaca tentang sekolah hijau di Kalimantan? Tepatnya di daerah Sajingan di dekat perbatasan RI-Malaysia? Nah, awalnya di daerah ini marak dengan pembukaan lahan sawit yang bertubi-tubi. Seolah-olah hanya untuk sawit. Hanya untuk bekerja di kebun orang. Wawasan sempit dan tidak berkembang. Konsep pendidikan menawarkan sesuatu yang lain. Anak bisa belajar dari keterbatasan. Belajar dari apa yang ada yang mereka dapat temukan dari kehidupan sehari-hari. Anak bisa belajar matematika dari menghitung setiap helai guguran daun yang jatuh tiap hari, memantaunya selama beberapa hari, dan kemudian belajar polanya sehingga akhirnya tahu berapa helai daun yang mungkin jatuh pada hari ketujuh. Hebat bukan? Bukan, karena itu hanya pikiran saya sendiri. Tidak ada pengajaran seperti itu. Tapi, kira-kira seperti itulah yang terjadi.

Referensi
1. Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia - Akhmad Muhaimin
2. Ilmu Pendidikan - Dwi Siswoyo dkk
3. Pendidikan dalam Perspektif Globalisasi - Nurani Soyomukti

*#Gerakan Intelektual Profetik*

Find us 📭

👥Facebook : Komisariat KAMMI UNY
🗣Twitter : @kammiuny
📸Instagram : @kammiuny
📚Website : uny-kammi.blogspot.com
💌Email : kammikomsatuny@gmail.com

Wujudkan Cita-Cita Reformasi Pendidikan Indonesia

Wujudkan Cita-Cita Reformasi Pendidikan Indonesia
Oleh : Bisma Putra Aprilianta

dalam Diskusi Kebijakan Publik Komisariat KAMMI UNY
Gaza, Karangmalang Blok B19A
Rabu, 18 Mei 2016
16.00

Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan dengan sengaja dan sistematis untuk mendorong, membantu serta membimbing seseorang untuk mengembankan segala potensinya sehingga ia mencapai kualitas diri yang lebih baik. Hal ini berarti berbagai masalah kehidupan manusia menjadi masalah global atau setidaknya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kejadian dibelahan bumi yang lain, baik masalah politik atau sosial. Kesetiakawanan semakin kental berarti kepedulian umat manusia terhadap sesamanya semakin merupakan tugas setiap manusia, pemerintah, sistem pendidikan nasional.
Reformasi memiliki arti yaitu perubahan radikal untuk perbaikan dalam bidang sosial, politik atau agama di dalam suatu masyarakat atau Negara. Orang-orang yang melakukan atau memikirkan reformasi itu disebut reformis yang tak lain adalah orang yang menganjurkan adanya usaha perbaikan tersebut tanpa   kekerasan. Usaha-usaha untuk mementingkan nilai-nilai kemanusiaan dalam pendidikan telah melahirkan kembali pendekatan pendidikan yang mementingkan pengembangan kreatifitas dalam kepribadian anak. Inilah yang disebut gerakan humanisasi dalam proses pendidikan yang sedang kondang dibanyak Negara, baik Negara maju maupun Negara berkembang. Gerakan humanisasi ini meminta reformasi yang mendasar dalam pendidikan baik dalam metodologi belajar mengajar, kepada manajemen sampai kepada perencana pendidikan.
Saat ini fokus kerja-kerja pemerintah masih bertumpu pada sektor pendidikan formal. Untuk kinerja itupun pemerintah Indonesia, menurut data dari UNDP (United Nations Development Programs) dalam “Human Development Report 2015” untuk kualitas pembangunan manusia diganjar peringkat 108 dari 177 negara didunia. Potret UNDP itu sebangun dengan data BPS (Biro Pusat Statistik) tahun 2015 tentang angka penangguran menurut pendidikan dan wilayah desa-kota: persentase pengangguran tamatan SMA ke atas lebih besar disbanding tamatan SMP kebawah. Artinya, sistem pendidikan nasional belum berhasil mengantarkan anak bangsa untuk  survive mandiri dan terampil berwiusaha untuk kelangsungan hidupnya sendiri. Laporan terbaru Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), Education at Glance 2015 Indonesia mendapati peringkat 2 di dunia angka putus sekolah setalah China dengan presentasi 60%.
Diantara permasalahan pelik tentang kondisi pendidikan dinIndonesia tentu saja aspek moral tidak boleh dilupakan. Sekolah adalah tempat menumbuhsuburkan nilai-nilai luhur dalam diri aanak bangsa  yang menjadi peserta didik. Tawuran perilaku asusila sebagian oknum pelajar/ mahasiswa adalah cermin belum terimplementasikannya amanat UUD 1945 dan UU system pendidikan  nasional tentang nilai-nilai agama. Kegiatan sekolah lebih besar porsinya untuk pengajaran. Padahal pengajaran tanpa bingkai pendidikan moral hanya menciptakan orang pintar yang kehilangan arah dari hakikat kemuliaan eksistensinya sebagai makhluk mulia yang bertakwa kepada tuhan yang maha esa.
Tujuan reformasi pendidikan nasional  memiliki agenda strategis yang harus dilakukan untuk memperbaiki dan membangun dunia pendidikan, diantaranya :
1.      Melakukan pembangunan sisitem pendidikan nasional yang komprehensif, integratif dan aplikatif.
2.      Meningkatkan wajib belajar dari sembilan tahun menjadi dua belas tahun.
3.      Meningkatkan kompetensi, kesejahteraaan dan perlindungan terhadap profesi guru.
4.      Mengawal realisasi anggaran pendidikan yang besarnya 20% dari total APBN.
5.      Melakukan monitoring dan evaluasi system terhadapberbagai aspek onsep dan operasional sistem pendidikan nasional.
6.      Menerapkan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan.
7.      Meninkatkan kualitas pengelolaan manajemen sekolah.
8.      Terselenggaranya pendidikan yang terjangkau dan bermutu.
9.      Memberi perhatian yang khusus pada anak ABK di dunia pendidikan.

Karena itu, untuk tercapainya reformasi pendidikan secara komprehensif tentu seluruh komponen bangsa haurs bersatu padu dan meningkatkan komitmen untuk merumuskan merealisasikan kebijakan peningkatan mutu pendidikan. Sebab, pembangunan dan penyelenggara pendidikan nasional yang benar dan efektif merupakan amanat konsttusi sekaligus tuntutan zaman yang tak bisa dielakan.tanpa itu, bangsa besar ini akan masuk dalam daftar sejarah sebagai bangsa yang kalah dan musnah. Termasuk mereformasi di satu aspek yang didalamnya menentukan arah paradaban dunia kedepan.

Senin, 02 Mei 2016

PENDIDIKAN DAN POLITIK



Oleh: Bisma Putra Aprilianta
Kebijakan Publik Komisariat KAMMI UNY 2016
Ketua BEM FIP UNY 2016

Sejatinya pendidikan adalah usaha yang disengaja untuk mengembangkan potensi sumber daya manusia yang mampu menjawab tantangan kehidupan dan dapat memaknai kehidupan, baik pribadinya maupun untuk masyarakatnya. Secara teoritis, pendidikan harus mencakup empat aspek yakni : learning to know, learning to be, learning to do and learing to live together.

Diskusi : Benarkah Pemerintah sudah memberikan jaminan?





Kajian Diskusi tentang Kondisi Pendidikan Tinggi Nasional
Benarkah Pemerintah sudah memberikan jaminan?

Tanggal: 29 Maret 2016
Tempat: Gedung IEC Lt.2, UNY

Penyaji:
1. Deni Hardianto, M.Pd.
2. Ficky Fristiar, S.Pd.




Penyaji Pertama,
Sebenarnya ketika berbicara pendidikan, maka masalah yang sering terjadi ialah berkaitan dengan pembiayaan dan aksesibilitas. Perguruan Tinggi, sejak dikeluarkan UU no 12 tahun 2012. Perguruan tinggi itu berbadan hukum, jadi dia otonom. Punya karakter dan ciri khas masing-masing.

© Blog Komisariat KAMMI UNY
Maira Gall