Kajian Diskusi tentang Kondisi Pendidikan
Tinggi Nasional
Tanggal: 29 Maret 2016
Tempat: Gedung IEC Lt.2, UNY
Penyaji:
1. Deni Hardianto, M.Pd.
2. Ficky Fristiar, S.Pd.
Penyaji Pertama,
Sebenarnya ketika berbicara pendidikan,
maka masalah yang sering terjadi ialah berkaitan dengan pembiayaan dan
aksesibilitas. Perguruan Tinggi, sejak dikeluarkan UU no
12 tahun 2012. Perguruan tinggi itu berbadan hukum, jadi dia otonom. Punya
karakter dan ciri khas masing-masing.
Disinilah akhirnya yang menjadi polemik. Kalau
SD ke SMP orang masih bisa melanjutkan sekolah, ke SMA mungkin sebagian masih
lanjut, tetapi memasuki perguruan tinggi/ kuliah mungkin kita bisa merasakan
sendiri, dahulu yang menjadi teman sekalas kita misal sebut saja sekelas ada
30-40 orang, yang melanjutkan ke perguruan tinggi itu berapa, kita bisa hitung,
paling hanya 10, 20, atau separonya yang paling banyak yang kemudian
melanjutkan kuliah. Kalau diluar Jawa lebih memprihatinkan lagi. Di Sumatera
(sumsel), di suatu sekolah sekelasnya ada 40 anak dan ada 8 kelas. Dari 8
kelas, yang melanjutkan kuliah tidak ada dua puluh orang.
Jadi kita bisa bayangkan luar biasa gate
nya itu. Kenapa mereka tidak kuliah? Mengapa mereka tidak melanjutkan ke pendidikan
tinggi?
Warga negara dengan usia produktif (kuliah)
tapi ia tidak kuliah. Sekali lagi, Apa yang menyebabkan mereka tidak kuliah?
Kalau ada pilihan, apakah aksesnya? Ataukah karena tidak ada kampus? Apakah ada
pilihan lain misalnya? Ingin bekerja? atau berkeluarga? atau karena tidak punya
uang? Kira-kira jawabannya yang mana?
Tapi kalau kita tarik, ini memang belum
data pasti, hanya dari obrolan-obrolan atau diskusi-diskusi, ketika kita tarik
benang merahnya itu ternyata mengikat pada “biaya”. Jadi memang berbicara pendidikan
tidak akan terlepas dari apa yang dinamakan biaya dan akses. Contoh nya mereka
(orang tua) kalau berfikir menguliahkan anak itu pasti nanti keluar daerah,
kota, propinsi, mereka sudah berfikir tentang itu, mungkin kalau sekedar SPP
saja, masih sanggup tetapi persoalannya - misal menguliahkan anak dari sumatera
ke jogja - itu berfikirnya tidak hanya SPP, biayanya jadi dua, bulanannya harus
diperhatikan (biaya hidup) dan akhirnya potensi usia produktif ini menjadi usia
yang tidak produktif serta tidak menghasilkan. Sehingga dari pada mengeluarkan uang banyak -
ditambah dengan tidak menghasilkan - apalagi mereka mendapatkan sajian data
sarjana nganggur, ini semakin memperkuat mereka tidak menempuh pendidikan
tinggi.
Ujung-ujungnya ada singgungan dengan biaya
bukan? Dari pada biaya dibuang sekian, mending buat kerja. Kalau kita tanya
sebagian besar masyarakat akan menjawab itu, ya memang karena faktor biaya itu.
Ada kekhawatiran orang tua tidak bisa menanggung biayanya sampai dia selesai.
Jadi ujung-ujungnya biaya lagi.
Benarkah kondisi Pendidikan Tinggi (kuliah)
saat ini mahal?
Memang ini dampak dari otonomi kampus atau
kebijakan kampus menjadi badan hukum seperti yang disebutkan diatas. Jadi
dampak dari badan hukum itu, kampus mendapatkan kebebasan. Sebenarnya maksud
dari ini adalah tentang kebebasan akademik yang tentu tidak diintervensi oleh
negara. Karena dahulu negara sampai masuk untuk intervensi berkaitan dengan hal
ini. Nampaknya supaya ada kebebasan akademik, dibuatlah suatu badan hukum
sendiri, tapi akibatnya khususnya bagi perguruan tinggi negeri itu banyak. PTN
di satu sisi pegawai-pegawainya tetap dibiayai oleh negara (dosen tetap PNS)
dan itu ada sistem sendiri. Belum lagi manajemen keuangan, dimana manajemen
keuangannya yang begitu rumit ketika diatur negara, maka harapannya dengan
kampus menjadi badan hukum atau otonom itu kampus bisa mengelola sendiri.
Akibatnya pula, ada pembebanan-pembebanan
biaya ke masyarakat. Yang kemudian biaya pendidikan itu diatur sehingga bisa
mengambil dana dari masyarakat, akhirnya munculah sistem UKT (uang kuliah
tunggal). Jadi
uang kuliah tunggal itu satu sisi bisa diapresiasi sebagai suatu langkah bijak
dari pemerintah karena mampu membuat grade sesuai penghasilan atau pendapatan
orang tua mahasiswa, meski itu sangat tergantung pada kampusnya dalam
menentukan kriteria. Begitulah badan otonom.
Namun di sisi lain, dalam UKT ini pula akan muncul polemik-polemik
berkaitan dengan jumlah kuota, beban orang tua, dan sebagainya. Padahal ketika
jumlah yang tidak mampu banyak, namun kuota terbatas, bagaimana jadinya?
Problem berikutnya ialah akuntabilitas dan
transparansi.
Sebenarnya, kampus dalam undang-undang itu
harus good government. Ciri-ciri good government ada 3 yaitu akuntabilitas,
transparansi dan partisipasi. Apalagi nanti lingkupnya menuju kesitu, kalau
sampai mahasiswa tidak mengetahui sebenarnya mahasiswa boleh bertanya uang yang
dibayarkan kemana saja.
Kebetulan penyaji terlibat pada waktu
menghitung unit kost. UKT pada dasarnya berdasar unit kost, kalau untuk UNY
sendiri, semisal untuk FIS, rata-rata FIS waktu di hitung itu unit kost per
mahasiswa, 8-12 juta per tahun, kalau FT lebih tinggi, karena memang tergantung
dari karakteristik fakultasnya, semakin banyak ia praktikum, semakin banyak ia
menggunakan barang-barang Lab, maka akan semakin tinggi. Jadi cara untuk
menghitung unit kost yaitu dengan mengetahui sebenarnya satu mahasiswa itu
berapa ia menghabiskan biaya listrik, ac, spidol, papan tulis, kursi, meja dan
sebagainya. Itu kemudian dibagi berdasarkan jumlah dengan rumusnya sendiri.
Semakin tinggi hasil unit kost itu maka akan semakin tinggi pula beban untuk
meminta kepada mahasiswa nya. Maka seandainya masih bisa dipepet hingga batas
standar minimal maka harus dilakukan, yang akhirnya misal setelah dihitung
setahun 5.200.000. Kalo dibagi dua semester maka satu semester 2.600.000. Maka
SPPnya sekitar itu. Itu dasar menghitung UKT.
Setelah itu akan ada levelling.
Pemerintah mengharuskan 20% dari kampus itu
untuk masyarakat yang tidak mampu. Level satu dan dua juga bidik misi itu harus
ada 20% jumlah mahasiswa yang berkategori menerima itu, level tiga yang
standar, empat, lima, itu yang diatasnya, jadi level empat dan lima, untuk
mensubsidi level satu dan dua, sehingga ketemu tiga itu sebagai rata-rata,
kalau misal 2.600.000 itu level tiganya, level empat 3.000.000, level lima
4.500.000, tapi level satu itu 500.000, level dua 1.000.000-an, jadi sebenarnya
kita melihat adanya keinginan untuk subsidi silang, tapi sayangnya di UNY itu,
1 dan 2 penuh 20%, untuk 4, 5 ini hanya sekitar 5%. Jadi tidak menutup untuk
subsidi, ini kalau kita menghitung dari unit kost.
Lalu sebenarnya, biaya ini harus ditanggung
siapa? Ditanggung negarakah? Atau masyarakat semua?
Seharusnya idealnya memang negara yang
menanggung semua baik pendidikan maupun kesehatan. Tapi sanggupkah negara
kitaa? Atau jangan-jangan memang sanggup, namun tidak mau?
Kalau kata orang pajak, indonesia sebenarnya
sangat mampu untuk menggratiskan biaya kesehatan dan pendidikan kalau, pertama
itu APBN tidak bocor, dan kedua, penerimaan pajaknya bener/sama. Karena pajak
kita banyak yang dikemplang/diambil dan APBN itu banyak yang bocor. Tidak usah
100%, cukup 80% saja maka itu sudah bisa menggratiskan pendidikan sampai
pendidikan tinggi serta kesehatan, APBN kita hanya sekitar 2000 triliun,
padahal sebenarnya bisa mencapai 4000 triliun, seandainya 3000 triliun saja
tentu sudah bisa untuk mengcover pendidikan dan kesehatan.
Di beberapa negara hal ini sudah bisa
gratis. Itu perkara lain. Mari kembali lagi, kalau memungkinkan memang biaya
pendidikan bisa digratiskan.
Sebenarnya ada PR besar perguruan tinggi ini
sejak diberi otonomi itu, ada sebuah kekhawatiran. Kritik kepada PTN ini
sebagai badan hukum itu adalah memungkinkannya terjadi kapitalisasi dan
liberalisasi. Jadi kalau kampus itu berfikiran mencari incomes/pendapatan
sendiri untuk menaikkan pendapatan. Karena pendapatan korelasi dengan
kesejahteraan, dan korelasi dengan fasilitas, itu pasti kampus akan berfikir
tentang incomes. Kalau mainsetnya seperti ini, yang bisa jadi korban dalam hal
ini ialah mahasiswa, misal saja apa-apa disewakan, khawatirnya mainsetnya cari
uang saja dan terus menerus. Sekarang KWU (UNY mall) sudah dibuka tidak lain
itu adalah incomes.
Mengapa kampus melakukan ini? Karena kalau
dia hanya mendapatkan dana -namanya dana in out dan PNBP - kalo hanya mencari
Penerimaan Negara Bukan Pajak atau SPP, ternyata SPP itu - UNY total pendapatan
SPP setahun itu 166 miliyar, 166 milyar itu untuk SDM, untuk “kesejahteraan”, itu sudah
diambil 40% sendiri, jadi untuk gaji insentif dosen dan tenaga kependidikan itu
sekitar 60, milyar sendiri, sisanya untuk pemeliharaan dan pembangunan - dirasa
itu belum cukup dan belum menutup.
Maka mereka akan mencoba berfikir sebagaimana
corporate/ perusahaan yang mencari untung, makanya yang terjadi adalah
kapitalisasi. Tentu yang dikhawatirkan ketika terjadi hal yang berlebihan.
Itulah kritik paling tajam. Meski sebenarnya semangatnya ialah semangat otonomi
kampus, semangat otonomi akademik. Supaya negara tidak mengintervensi kebebasan
akademik kampus, tapi itu berdampak pada otonomi anggaran juga. Dan inilah yang
sangat terasa di mahasiswa.
Mahasiswa yang aktif di organisasi intra,
di BEM, HIMA, dsb. mungkin merasakan dampak yang signifikan seperti biaya
anggaran ormawa yang turun, kenapa itu terjadi?
Selain alasan diatas ternyata ada alasan
lain. Dimana UNY mulai tahun ini menerapkan “remunerasi”. Jadi remunerasi itu sebenarnya
peningkatan kinerja untuk pegawai, jadi dulu sejak guru dan dosen mendapat
sertifikasi satu kali gaji guru itu, ada “kecemburuan” pada pegawai yang lain seperti
pemda, kementrian, TU dsb. Sehingga mereka mengusulkan apa yang namanya ada
tunjungan kinerja (tukin), lahirlah yang namanya remunerasi. Dan itu diatur UU,
memang pegawai mendapat tunjuangan kinerja.
Makanya begitu remunerasi masuk di
perguruan tinggi, karena dia sudah berbadan hukum tukin nya itu harus dibiayai
oleh perguruan tinggi itu sendiri. Makanya dulu yang namanya PNBP/ SPP
mahasiswa itu bisa digunakan penuh oleh kampus untuk biaya operasional kampus.
Tetapi sejak remunerasi, penerimaan negara bukan pajak / SPP mahasiswa itu
harus diambil 40% nya untuk membayar tukin pegawai. Bayangkan yang tadi saya katakan ada 60 milyar untuk
kesejahteraan (saat belum remunerasi). Lalu bagaimana sekarang? Akhirnya
mengambili dana-dana kemahasiswaan, dana-dana itu potong semua.
Jadi dampak-dampak itu, sehingga ke depan
model kampus seperti ini - beberapa kampus yang lain juga mengalami hal sama,
sebentar lagi UGM akan remunerasi - dampaknya akan sama, penghasilan dosen akan
terjun bebas. Sehingga di satu sisi ada upaya untuk mendapatkan incomes yang
lebih besar. Nah ini yang payah. Biaya mahasiswa akan nampak dan dianggap
semakin kecil. Karena dulu Unit kost itu tidak menghitung SDM, hanya
operasional seperti listrik, pemeliharaan. Tidak menghitung SDM karena dulu SDM
dibayar oleh negara, kalau sekarang dosen masih dibayar negara dan masih ada
sertifikasi. Tapi tunkin berlaku untuk Tendik (tenaga kependidikan) seperti TU.
Itu mengambilnya dari PNBP yang dulu
tukin itu dibayar oleh negara sehingga inilah yang mengurangi incomes. Nah
untuk menutup itu, maka dinaikkan biaya mahasiswanya, karena terlalu kecil.
Seperti UNY yang katanya kecil sekali dibanding kampus lain. Seperti 500.000
contohnya. Kalau dulu ada yang namanya biaya pangkal/ uang muka, dimana dulu
SPP kecil (misal: 300.000), tapi uang pangkalnya besar (misal: 5.000.000), jadi
setiap awal tahun sejumlah 5000 mahasiswa baru UNY dulu membayar 5 juta. Pendapatan
kampus jelas tinggi sekali pada saat penerimaan mahasiswa baru, dia bisa
menutup operasional. Tapi begitu disamaratakan UKT itu, tidak ada lagi
pendapatan awal itu yang begitu besar. Jadi sekarang sudah flat, apalagi dulu
sumbangannya bersifat sukarela minimal 2.000.000, bahkan bisa sampai ada yang
menyumbang sampai 7.000.000, dsb. Bahkan proses audit juga bisa bingung. Kalau
dengan model yang saat ini, maka akan sangat kelihatan apalagi sekarang sudah
sangat transparan. Ternyata kampus yang seperti kampus model UNY itu masih
dirasa amat kurang biaya operasionalnya. Sepertinya disini ada “kecenderungan” atau
keinginan negara untuk melepaskan tanggungjawabnya terhadap kampus, jadi kampus
disuruh mencari uang sendiri. Padahal amanah Undang-Undang tidak seperti itu.
Amanah Undang-Undang, pendidikan menjadi tanggungjawab negara.
Disini KAMMI harus mengawal tentang aturan
pendidikan. Di satu sisi sebenarnya ada bagusnya, karena kalau negara membiayai
penuh mungkin memang untuk konteks saat ini mungkin belum mampu, tapi mengawal
supaya kampus ini juga tidak kebablasan itu perlu juga. Karena kalau tidak,
pasti kebablasan. Contoh seperti di UNESA masih memungut biaya pangkal, padahal
sudah UKT maka aneh juga. Mungkin di beberapa kampus itu tinggi sekali biaya UKT
nya, ini juga yang menjadi hal untuk KAMMI kawal.
“Nah saya kira posisi KAMMI
bisa sebgai agen untuk mengawal itu. Agar supaya negara juga jangan sampai
lepas tangan penuh karena sekarang ada arah-arahnya kesitu, karena operasional
itu semua diserahklan ke kampus. Padahal operasional itu sangat tinggi. Mungkin
temen-temen tidak tahu kalau satu fakultas itu membayar listrik itu satu milyar
per tahunnya. Belum mbayar telephonenya, koran, dsb. Mungkin sehari-hari tidak
terasa, listrik, ac, kursi rusak, dan semuanya butuh pemeliharaan dan itu
dibebankan ke kampus, nah kampus nyarinya ya ke mahasiswa, masa memotong gaji
dosen, kan tidak mungkin. Kira-kira begitulah gambarannya.”
Penyaji kedua,
Bertemu dengan mantan staf khusus Pak Anis
Baswedan.
“mengapa dana tahun ini dipotong besar-besaran sampai 60%?”, “ini ada apa
sih di kalangan atas?”
“masalah ini dipotong karena ada faktor personal saja”
Maksudnya ialah kapasitas seorang menteri
itu dipertanyakan. Seperti bagian penganggaran 2016 yang harus diatur ulang
dari tahun kemarin, dan itu di audit. Saat ditampilkan awal tahun baru, kan
diajukan berapa triliyun, itu ternyata Pak menteri nya tidak bisa menjawab atau
sesempurna yang di inginkan/disampaikan DPR. Dan akhirnya dipotong habis sampai
60%. Karena pengalaman kemarin mengapa tahun 2015 kementrian pendidikan dan kebudayaan
baik-baik saja, karena penganggaran pada waktu itu yang masih membuat ialah Pak
Nuh, yang sudah dianggarkan tahun 2014.
Kementrian menganggarkan pada akhir 2015
(november desember – saat presiden dan kabinetnya) untuk tahun 2016. Penyerapan
kemendikbud sebanyak 82% . dan sebaliknya kemendikti penyerapannya tidak kurang
dari 60%, jauh sekali, makanya dipotong habis-habisan. Dan hasil pemotongan ini
bisa kita rasakan di ormawa intra kampus. Makanya ketika kita tanya pada WR3,
ataupun WD3 jawabnnya karena ”dari pusat” ya segitu.
Dari “pusat” kira2 mengapa?
Makanya semua sumber-sumber itu tidak lepas
yang namanya politisasi. Ketika kita bicara pendidikan, ternyata ada
kapitalisasi pendidikan juga.
Jadi semua dipolitisasi, dan kemudian dia
mencontohkan ketika ada masalah di dalam perguruan tinggi itu. Contoh
konkretnya ialah dana PKM itu yang dinyatakan lolos lalu didanai pada bulan
april. Lalu kapan dana itu turun? mengapa jangkanya lebih lama, mengapa tidak
langsung turun?
Ternyata dana itu sebut saja untuk 5000
kelompok dan masing-masing kelompok mendapat 10juta. Sehingga dana bisa sampai
50 milyar. Lumayan besar, bukan?
Mengapa dana sebesar ini kok lambat?
Biasanya jawabannya “sekalian saja, lagi ada masalah” ternyata disini pemerintah punya
mitra bank, yaitu Mandiri, BNI, Bank Propinsi, dan ternyata itu di deposito
kan, dan ketika diperlama, maka ada bunganya, setiap bulan ada 5-6%. Bayangkan.
Jadi ketika 50 milyar, lalu didepositokan berapa bunganya? berapa yang masuk ke
rekening mereka? diperkirakan sekitar 10-15 milyar, dan itu riba.
Itu baru PKM, belum beasiswa, apalagi bidik
misi, yang sangat jelas politisasinya. Apakah bidik misi setiap bulan
dikasihkan? Tidak bukan? Kadang tiga bulan, kadang satu semester baru dikasih,
alasannya sama,“transfernya sekalian saja biar tidak ngrepoti”, kira-kira
ada apa sampai 6 bulan belum turun? Coba berapa banyak orang yang menerima
bidik misi? Apa banknya salah? Sejatinya yang salah ialah orang yang mengelola
dana itu tentunya.
Makanya kita harus keluar dari itu
semuanya, jangan selalu berfikir bagaimana WR2, WR3, WD3 tapi lihatlah
bagaimana diatas, dibawah, karena memang semua jadi serba salah. (van)
Tidak ada komentar
Posting Komentar