Senin, 02 Mei 2016

Diskusi : Benarkah Pemerintah sudah memberikan jaminan?





Kajian Diskusi tentang Kondisi Pendidikan Tinggi Nasional
Benarkah Pemerintah sudah memberikan jaminan?

Tanggal: 29 Maret 2016
Tempat: Gedung IEC Lt.2, UNY

Penyaji:
1. Deni Hardianto, M.Pd.
2. Ficky Fristiar, S.Pd.




Penyaji Pertama,
Sebenarnya ketika berbicara pendidikan, maka masalah yang sering terjadi ialah berkaitan dengan pembiayaan dan aksesibilitas. Perguruan Tinggi, sejak dikeluarkan UU no 12 tahun 2012. Perguruan tinggi itu berbadan hukum, jadi dia otonom. Punya karakter dan ciri khas masing-masing.


Disinilah akhirnya yang menjadi polemik. Kalau SD ke SMP orang masih bisa melanjutkan sekolah, ke SMA mungkin sebagian masih lanjut, tetapi memasuki perguruan tinggi/ kuliah mungkin kita bisa merasakan sendiri, dahulu yang menjadi teman sekalas kita misal sebut saja sekelas ada 30-40 orang, yang melanjutkan ke perguruan tinggi itu berapa, kita bisa hitung, paling hanya 10, 20, atau separonya yang paling banyak yang kemudian melanjutkan kuliah. Kalau diluar Jawa lebih memprihatinkan lagi. Di Sumatera (sumsel), di suatu sekolah sekelasnya ada 40 anak dan ada 8 kelas. Dari 8 kelas, yang melanjutkan kuliah tidak ada dua puluh orang.

Jadi kita bisa bayangkan luar biasa gate nya itu. Kenapa mereka tidak kuliah? Mengapa mereka tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi?

Warga negara dengan usia produktif (kuliah) tapi ia tidak kuliah. Sekali lagi, Apa yang menyebabkan mereka tidak kuliah? Kalau ada pilihan, apakah aksesnya? Ataukah karena tidak ada kampus? Apakah ada pilihan lain misalnya? Ingin bekerja? atau berkeluarga? atau karena tidak punya uang? Kira-kira jawabannya yang mana?

Tapi kalau kita tarik, ini memang belum data pasti, hanya dari obrolan-obrolan atau diskusi-diskusi, ketika kita tarik benang merahnya itu ternyata mengikat pada biaya. Jadi memang berbicara pendidikan tidak akan terlepas dari apa yang dinamakan biaya dan akses. Contoh nya mereka (orang tua) kalau berfikir menguliahkan anak itu pasti nanti keluar daerah, kota, propinsi, mereka sudah berfikir tentang itu, mungkin kalau sekedar SPP saja, masih sanggup tetapi persoalannya - misal menguliahkan anak dari sumatera ke jogja - itu berfikirnya tidak hanya SPP, biayanya jadi dua, bulanannya harus diperhatikan (biaya hidup) dan akhirnya potensi usia produktif ini menjadi usia yang tidak produktif serta tidak menghasilkan. Sehingga dari pada mengeluarkan uang banyak - ditambah dengan tidak menghasilkan - apalagi mereka mendapatkan sajian data sarjana nganggur, ini semakin memperkuat mereka tidak menempuh pendidikan tinggi.

Ujung-ujungnya ada singgungan dengan biaya bukan? Dari pada biaya dibuang sekian, mending buat kerja. Kalau kita tanya sebagian besar masyarakat akan menjawab itu, ya memang karena faktor biaya itu. Ada kekhawatiran orang tua tidak bisa menanggung biayanya sampai dia selesai. Jadi ujung-ujungnya biaya lagi.
Benarkah kondisi Pendidikan Tinggi (kuliah) saat ini mahal?

Memang ini dampak dari otonomi kampus atau kebijakan kampus menjadi badan hukum seperti yang disebutkan diatas. Jadi dampak dari badan hukum itu, kampus mendapatkan kebebasan. Sebenarnya maksud dari ini adalah tentang kebebasan akademik yang tentu tidak diintervensi oleh negara. Karena dahulu negara sampai masuk untuk intervensi berkaitan dengan hal ini. Nampaknya supaya ada kebebasan akademik, dibuatlah suatu badan hukum sendiri, tapi akibatnya khususnya bagi perguruan tinggi negeri itu banyak. PTN di satu sisi pegawai-pegawainya tetap dibiayai oleh negara (dosen tetap PNS) dan itu ada sistem sendiri. Belum lagi manajemen keuangan, dimana manajemen keuangannya yang begitu rumit ketika diatur negara, maka harapannya dengan kampus menjadi badan hukum atau otonom itu kampus bisa mengelola sendiri.

Akibatnya pula, ada pembebanan-pembebanan biaya ke masyarakat. Yang kemudian biaya pendidikan itu diatur sehingga bisa mengambil dana dari masyarakat, akhirnya munculah sistem UKT (uang kuliah tunggal). Jadi uang kuliah tunggal itu satu sisi bisa diapresiasi sebagai suatu langkah bijak dari pemerintah karena mampu membuat grade sesuai penghasilan atau pendapatan orang tua mahasiswa, meski itu sangat tergantung pada kampusnya dalam menentukan kriteria. Begitulah badan otonom.  Namun di sisi lain, dalam UKT ini pula akan muncul polemik-polemik berkaitan dengan jumlah kuota, beban orang tua, dan sebagainya. Padahal ketika jumlah yang tidak mampu banyak, namun kuota terbatas, bagaimana jadinya?
Problem berikutnya ialah akuntabilitas dan transparansi.

Sebenarnya, kampus dalam undang-undang itu harus good government. Ciri-ciri good government ada 3 yaitu akuntabilitas, transparansi dan partisipasi. Apalagi nanti lingkupnya menuju kesitu, kalau sampai mahasiswa tidak mengetahui sebenarnya mahasiswa boleh bertanya uang yang dibayarkan kemana saja.

Kebetulan penyaji terlibat pada waktu menghitung unit kost. UKT pada dasarnya berdasar unit kost, kalau untuk UNY sendiri, semisal untuk FIS, rata-rata FIS waktu di hitung itu unit kost per mahasiswa, 8-12 juta per tahun, kalau FT lebih tinggi, karena memang tergantung dari karakteristik fakultasnya, semakin banyak ia praktikum, semakin banyak ia menggunakan barang-barang Lab, maka akan semakin tinggi. Jadi cara untuk menghitung unit kost yaitu dengan mengetahui sebenarnya satu mahasiswa itu berapa ia menghabiskan biaya listrik, ac, spidol, papan tulis, kursi, meja dan sebagainya. Itu kemudian dibagi berdasarkan jumlah dengan rumusnya sendiri. Semakin tinggi hasil unit kost itu maka akan semakin tinggi pula beban untuk meminta kepada mahasiswa nya. Maka seandainya masih bisa dipepet hingga batas standar minimal maka harus dilakukan, yang akhirnya misal setelah dihitung setahun 5.200.000. Kalo dibagi dua semester maka satu semester 2.600.000. Maka SPPnya sekitar itu. Itu dasar menghitung UKT.
Setelah itu akan ada levelling.

Pemerintah mengharuskan 20% dari kampus itu untuk masyarakat yang tidak mampu. Level satu dan dua juga bidik misi itu harus ada 20% jumlah mahasiswa yang berkategori menerima itu, level tiga yang standar, empat, lima, itu yang diatasnya, jadi level empat dan lima, untuk mensubsidi level satu dan dua, sehingga ketemu tiga itu sebagai rata-rata, kalau misal 2.600.000 itu level tiganya, level empat 3.000.000, level lima 4.500.000, tapi level satu itu 500.000, level dua 1.000.000-an, jadi sebenarnya kita melihat adanya keinginan untuk subsidi silang, tapi sayangnya di UNY itu, 1 dan 2 penuh 20%, untuk 4, 5 ini hanya sekitar 5%. Jadi tidak menutup untuk subsidi, ini kalau kita menghitung dari unit kost.

Lalu sebenarnya, biaya ini harus ditanggung siapa? Ditanggung negarakah? Atau masyarakat semua?
Seharusnya idealnya memang negara yang menanggung semua baik pendidikan maupun kesehatan. Tapi sanggupkah negara kitaa? Atau jangan-jangan memang sanggup, namun tidak mau?

Kalau kata orang pajak, indonesia sebenarnya sangat mampu untuk menggratiskan biaya kesehatan dan pendidikan kalau, pertama itu APBN tidak bocor, dan kedua, penerimaan pajaknya bener/sama. Karena pajak kita banyak yang dikemplang/diambil dan APBN itu banyak yang bocor. Tidak usah 100%, cukup 80% saja maka itu sudah bisa menggratiskan pendidikan sampai pendidikan tinggi serta kesehatan, APBN kita hanya sekitar 2000 triliun, padahal sebenarnya bisa mencapai 4000 triliun, seandainya 3000 triliun saja tentu sudah bisa untuk mengcover pendidikan dan kesehatan.

Di beberapa negara hal ini sudah bisa gratis. Itu perkara lain. Mari kembali lagi, kalau memungkinkan memang biaya pendidikan bisa digratiskan.

Sebenarnya ada PR besar perguruan tinggi ini sejak diberi otonomi itu, ada sebuah kekhawatiran. Kritik kepada PTN ini sebagai badan hukum itu adalah memungkinkannya terjadi kapitalisasi dan liberalisasi. Jadi kalau kampus itu berfikiran mencari incomes/pendapatan sendiri untuk menaikkan pendapatan. Karena pendapatan korelasi dengan kesejahteraan, dan korelasi dengan fasilitas, itu pasti kampus akan berfikir tentang incomes. Kalau mainsetnya seperti ini, yang bisa jadi korban dalam hal ini ialah mahasiswa, misal saja apa-apa disewakan, khawatirnya mainsetnya cari uang saja dan terus menerus. Sekarang KWU (UNY mall) sudah dibuka tidak lain itu adalah incomes.

Mengapa kampus melakukan ini? Karena kalau dia hanya mendapatkan dana -namanya dana in out dan PNBP - kalo hanya mencari Penerimaan Negara Bukan Pajak atau SPP, ternyata SPP itu - UNY total pendapatan SPP setahun itu 166 miliyar, 166 milyar itu untuk SDM, untuk kesejahteraan, itu sudah diambil 40% sendiri, jadi untuk gaji insentif dosen dan tenaga kependidikan itu sekitar 60, milyar sendiri, sisanya untuk pemeliharaan dan pembangunan - dirasa itu belum cukup dan belum menutup.

Maka mereka akan mencoba berfikir sebagaimana corporate/ perusahaan yang mencari untung, makanya yang terjadi adalah kapitalisasi. Tentu yang dikhawatirkan ketika terjadi hal yang berlebihan. Itulah kritik paling tajam. Meski sebenarnya semangatnya ialah semangat otonomi kampus, semangat otonomi akademik. Supaya negara tidak mengintervensi kebebasan akademik kampus, tapi itu berdampak pada otonomi anggaran juga. Dan inilah yang sangat terasa di mahasiswa.

Mahasiswa yang aktif di organisasi intra, di BEM, HIMA, dsb. mungkin merasakan dampak yang signifikan seperti biaya anggaran ormawa yang turun, kenapa itu terjadi?

Selain alasan diatas ternyata ada alasan lain. Dimana UNY mulai tahun ini menerapkan remunerasi. Jadi remunerasi itu sebenarnya peningkatan kinerja untuk pegawai, jadi dulu sejak guru dan dosen mendapat sertifikasi satu kali gaji guru itu, ada kecemburuan pada pegawai yang lain seperti pemda, kementrian, TU dsb. Sehingga mereka mengusulkan apa yang namanya ada tunjungan kinerja (tukin), lahirlah yang namanya remunerasi. Dan itu diatur UU, memang pegawai mendapat tunjuangan kinerja.

Makanya begitu remunerasi masuk di perguruan tinggi, karena dia sudah berbadan hukum tukin nya itu harus dibiayai oleh perguruan tinggi itu sendiri. Makanya dulu yang namanya PNBP/ SPP mahasiswa itu bisa digunakan penuh oleh kampus untuk biaya operasional kampus. Tetapi sejak remunerasi, penerimaan negara bukan pajak / SPP mahasiswa itu harus diambil 40% nya untuk membayar tukin pegawai. Bayangkan  yang tadi saya katakan ada 60 milyar untuk kesejahteraan (saat belum remunerasi). Lalu bagaimana sekarang? Akhirnya mengambili dana-dana kemahasiswaan, dana-dana itu potong semua.

Jadi dampak-dampak itu, sehingga ke depan model kampus seperti ini - beberapa kampus yang lain juga mengalami hal sama, sebentar lagi UGM akan remunerasi - dampaknya akan sama, penghasilan dosen akan terjun bebas. Sehingga di satu sisi ada upaya untuk mendapatkan incomes yang lebih besar. Nah ini yang payah. Biaya mahasiswa akan nampak dan dianggap semakin kecil. Karena dulu Unit kost itu tidak menghitung SDM, hanya operasional seperti listrik, pemeliharaan. Tidak menghitung SDM karena dulu SDM dibayar oleh negara, kalau sekarang dosen masih dibayar negara dan masih ada sertifikasi. Tapi tunkin berlaku untuk Tendik (tenaga kependidikan) seperti TU. Itu mengambilnya  dari PNBP yang dulu tukin itu dibayar oleh negara sehingga inilah yang mengurangi incomes. Nah untuk menutup itu, maka dinaikkan biaya mahasiswanya, karena terlalu kecil. Seperti UNY yang katanya kecil sekali dibanding kampus lain. Seperti 500.000 contohnya. Kalau dulu ada yang namanya biaya pangkal/ uang muka, dimana dulu SPP kecil (misal: 300.000), tapi uang pangkalnya besar (misal: 5.000.000), jadi setiap awal tahun sejumlah 5000 mahasiswa baru UNY dulu membayar 5 juta. Pendapatan kampus jelas tinggi sekali pada saat penerimaan mahasiswa baru, dia bisa menutup operasional. Tapi begitu disamaratakan UKT itu, tidak ada lagi pendapatan awal itu yang begitu besar. Jadi sekarang sudah flat, apalagi dulu sumbangannya bersifat sukarela minimal 2.000.000, bahkan bisa sampai ada yang menyumbang sampai 7.000.000, dsb. Bahkan proses audit juga bisa bingung. Kalau dengan model yang saat ini, maka akan sangat kelihatan apalagi sekarang sudah sangat transparan. Ternyata kampus yang seperti kampus model UNY itu masih dirasa amat kurang biaya operasionalnya. Sepertinya disini ada kecenderungan atau keinginan negara untuk melepaskan tanggungjawabnya terhadap kampus, jadi kampus disuruh mencari uang sendiri. Padahal amanah Undang-Undang tidak seperti itu. Amanah Undang-Undang, pendidikan menjadi tanggungjawab negara.

Disini KAMMI harus mengawal tentang aturan pendidikan. Di satu sisi sebenarnya ada bagusnya, karena kalau negara membiayai penuh mungkin memang untuk konteks saat ini mungkin belum mampu, tapi mengawal supaya kampus ini juga tidak kebablasan itu perlu juga. Karena kalau tidak, pasti kebablasan. Contoh seperti di UNESA masih memungut biaya pangkal, padahal sudah UKT maka aneh juga. Mungkin di beberapa kampus itu tinggi sekali biaya UKT nya, ini juga yang menjadi hal untuk KAMMI kawal.
 
Nah saya kira posisi KAMMI bisa sebgai agen untuk mengawal itu. Agar supaya negara juga jangan sampai lepas tangan penuh karena sekarang ada arah-arahnya kesitu, karena operasional itu semua diserahklan ke kampus. Padahal operasional itu sangat tinggi. Mungkin temen-temen tidak tahu kalau satu fakultas itu membayar listrik itu satu milyar per tahunnya. Belum mbayar telephonenya, koran, dsb. Mungkin sehari-hari tidak terasa, listrik, ac, kursi rusak, dan semuanya butuh pemeliharaan dan itu dibebankan ke kampus, nah kampus nyarinya ya ke mahasiswa, masa memotong gaji dosen, kan tidak mungkin. Kira-kira begitulah gambarannya.


Penyaji kedua,

Bertemu dengan mantan staf khusus Pak Anis Baswedan.
mengapa dana tahun ini dipotong besar-besaran sampai 60%?, ini ada apa sih di kalangan atas?
masalah ini dipotong karena ada faktor personal saja

Maksudnya ialah kapasitas seorang menteri itu dipertanyakan. Seperti bagian penganggaran 2016 yang harus diatur ulang dari tahun kemarin, dan itu di audit. Saat ditampilkan awal tahun baru, kan diajukan berapa triliyun, itu ternyata Pak menteri nya tidak bisa menjawab atau sesempurna yang di inginkan/disampaikan DPR. Dan akhirnya dipotong habis sampai 60%. Karena pengalaman kemarin mengapa tahun 2015  kementrian pendidikan dan kebudayaan baik-baik saja, karena penganggaran pada waktu itu yang masih membuat ialah Pak Nuh, yang sudah dianggarkan tahun 2014.

Kementrian menganggarkan pada akhir 2015 (november desember saat presiden dan kabinetnya) untuk tahun 2016. Penyerapan kemendikbud sebanyak 82% . dan sebaliknya kemendikti penyerapannya tidak kurang dari 60%, jauh sekali, makanya dipotong habis-habisan. Dan hasil pemotongan ini bisa kita rasakan di ormawa intra kampus. Makanya ketika kita tanya pada WR3, ataupun WD3 jawabnnya karena dari pusat ya segitu.

Dari pusat kira2 mengapa?
Makanya semua sumber-sumber itu tidak lepas yang namanya politisasi. Ketika kita bicara pendidikan, ternyata ada kapitalisasi pendidikan juga.

Jadi semua dipolitisasi, dan kemudian dia mencontohkan ketika ada masalah di dalam perguruan tinggi itu. Contoh konkretnya ialah dana PKM itu yang dinyatakan lolos lalu didanai pada bulan april. Lalu kapan dana itu turun? mengapa jangkanya lebih lama, mengapa tidak langsung turun?

Ternyata dana itu sebut saja untuk 5000 kelompok dan masing-masing kelompok mendapat 10juta. Sehingga dana bisa sampai 50 milyar. Lumayan besar, bukan?

Mengapa dana sebesar ini kok lambat? Biasanya jawabannya sekalian saja, lagi ada masalah ternyata disini pemerintah punya mitra bank, yaitu Mandiri, BNI, Bank Propinsi, dan ternyata itu di deposito kan, dan ketika diperlama, maka ada bunganya, setiap bulan ada 5-6%. Bayangkan. Jadi ketika 50 milyar, lalu didepositokan berapa bunganya? berapa yang masuk ke rekening mereka? diperkirakan sekitar 10-15 milyar, dan itu riba.

Itu baru PKM, belum beasiswa, apalagi bidik misi, yang sangat jelas politisasinya. Apakah bidik misi setiap bulan dikasihkan? Tidak bukan? Kadang tiga bulan, kadang satu semester baru dikasih, alasannya sama,transfernya sekalian saja biar tidak ngrepoti, kira-kira ada apa sampai 6 bulan belum turun? Coba berapa banyak orang yang menerima bidik misi? Apa banknya salah? Sejatinya yang salah ialah orang yang mengelola dana itu tentunya.

Makanya kita harus keluar dari itu semuanya, jangan selalu berfikir bagaimana WR2, WR3, WD3 tapi lihatlah bagaimana diatas, dibawah, karena memang semua jadi serba salah. (van)

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© Blog Komisariat KAMMI UNY
Maira Gall