Siti Horiah
Mahasiswa Program Studi Teknik Nuklir 2012
Disudut ruang tamu kami, yang luasnya tidak lebih dari 4m2 itu
terletak sebuah meja kecil berwarna hitam. Meja itu adalah sebuah meja
telepon rumah yang sudah beralih fungsi sebagai meja belajarku. Meja itu
adalah satu-satunya meja yang ada di rumah kami, meja yang sampai saat
ini masih dibiarkan ibuku tetap berdiri tegak dan masih tetap berada
dirumah kami dengan sebuah alasan yang tak aku ketahui.
Beginilah kondisi rumah kami setelah peristiwa kebangkrutan usaha
ayahku. Demi menyambung nyawa keluarga kami, ibu rela menjual
barang-barang berharga yanga ada di rumah kami pada tetangga sekitar.
Ibuku tidak tahu lagi harus berbuat apa, dan tidak tahu lagi bagaimana
caranya mendapatkan uang untuk membeli beras. Beliau menjual satu
persatu barang-barang berharga kami, setiap kali datang waktu makan.
Mulai dari beberapa pakaian ibuku yang paling beliau suka, alat-alat
dapur seperti gelas, piring, panci, dispenser, bahkan sendok dan garpu
pun ikut habis terjual.
Ayahku tidak dapat berbuat banyak setelah peristiwa kebangkrutan
usahanya. Beliau hanya mampu menjadi kuli dipasar tradisional di kota
kami. Upah yang dia terima tidak mampu menutupi kebutuhan keluarga besar
kami.
Suatu siang, aku melihat adikku Rafi menangis sambil menghampiri ibu
yang sedang duduk lemas menonton tv tanpa antena itu. Aku memperhatikan
gerak-gerik ibu yang kepanikan, beliau tidak ingin membiarkan Rafi
adikku menangis terlalu lama.
“ibu, ibu aku lapar!” jerit Rafi.
Ibu yang tak bisa berkata apa-apa langsung pergi menuju dapur,
mengambil beberapa piring. Aku pun terus memperhatikan gerak-gerik ibu.
Aku heran apa yang akan ibu lakukan dengan kelima buah piring itu.
Sempat aku berpikir kalau ibu akan mengambilkan nasi untuk Rafi, namun
aku teringat kalau dari kemarin aku belum memasak nasi untuk keluarga
kami. Dengan masih tetap memperhatikannya dari balik pintu, aku melihat
air mata ibuku jatuh berlinang membasahi pipinya yang pucat, namun
dengan cepat beliau langsung menghapusnya takut-takut kalau air matanya
akan terlihat olehku. Aku pura-pura tidak sadar dengan apa yang ibu
lakukan didapur, aku menyibukan diriku dengan menggendong dan menimang
Rafi agar dia tidak menangis.
Kubiarkan ibu dengan kesibukannya, kulihat beliau keluar rumah dengan
kelima piringnya itu. Tak beberapa lama kemudian beliau kembali dengan
uang ribuan yang lusuh sebanyak lima lembar. Aku terheran-heran atas apa
yang ibu lakukan. Ibu langsung menyuruhku pergi kewarung membeli
setengah liter beras, dan satu butir telur. Tanpa berpikir panjang aku
pun langsung pergi menuruti perintah ibu.
Aku kembali dengan apa yang ibu minta dan ibu langsung menyuruhku
memasaknya. Ibu menyuruhku membuat telur dadar dengan mencampurkan telur
itu dengan terigu, agar satu telur itu menjadi besar dan cukup untuk
dimakan oleh kami bersembilan. Aku menarik napas dalam-dalam, air mataku
pun tak kuat dibendung, menetes jatuh. Aku tak kuat menahan ini semua,
bagaimana tidak, setiap harinya kami hanya makan satu kali sehari.
Berbagi setengah liter nasi untuk sembilan orang, satu butir telur saja
harus dibagi sembilan, sering kamipun membagi 2 bungkus mie instans
untuk sembilan orang. Terkadang ayah memilih pergi dari rumah saat tiba
waktu makan, beliau pergi sambil menitip pesan padaku agar jatah
makanannya diberikan pada adik-adikku saja.
Ibu sangat sayang pada kami, beliau tidak pernah membagi
penderitaanya pada kami semua. Selagi ayah menjadi kuli dipasar, ibu
selalu menggantikan peran ayah. Ibu tak pernah terlihat sedih dengan
penderitaanya. Ibu rela berkorban demi kami semua. Ibu rela menjual
tempat tidurnya dan memilih tidur dilantai dengan beralaskan kasur yang
tipis saja.
Hampir seluruh barang berharga dirumah kami terpaksa beliau jual,
demi menutupi pendapatan ayah yang besarnya tak kurang dari sepuluh ribu
rupiah. Hanya satu buah meja telepon yang ibu sisakan diruang tamu
kami. Aku heran kenapa ibu tidak pernah mau menjual meja tersebut,
beliau lebih memilih menjual beberapa pakaiannya ketimbang menjual meja
tersebut. Sampai pada saatnya aku tak sanggup melihat pakaian terbaik
ibu harus ikut terjual, akupun menawarkan meja telepon itu untuk dijual
pada ibu. Namun ibu menolak dengan kata-kata yang membuatku menangis
sendiri.
“Selapar apapun kita nanti, ibu tidak akan menjual tempat yang kau
gunakan untuk mengantungkan cita-citamu itu nak, pakailah terus meja
itu.” Ungkapnya sambil pergi kerumah tetangga untuk menjual baju
terbaiknya selama ini, demi sepiring nasi untuk keenam adikku.
Aku lemas mendengarnya, jadi selama ini ibu tidak mau menjualnya
hanya karena aku sering memakai meja yang panjangnya tidak lebih dari 30
cm itu untuk belajar. Aku tersadar selama ini aku memang selalu
menggunakan meja itu untuk belajar karena itu adalah satu-satunya meja
yang ada dirumah kami.
Itulah kondisi yang selama ini aku alami, tak ada yang bisa aku
lakukan banyak ketika itu. Saat itu kondisinya aku sedang duduk dikelas
tiga. Ditengah kondisi seperti ini aku harus tetap berjuang untuk bisa
lulus SMA. Setiap malam aku bangun untuk belajar dan mengerjakan tugas,
aku menggunakan meja telepon itu sebagai alasku belajar. Terbayang
betapa menderitanya belajar di atas meja yang luasnya lebih kecil dari
luas buku tulisku.
Namun tidak ada pilihan lain bagiku, aku tak mampu menunduk lama
untuk belajar bila memilih belajar diatas lantai yang dingin. Meja itu
adalah teman terbaik bagiku. Dia selalu menemaniku dimalam hari disaat
semua orang terlelap, aku harus bangun untuk belajar. Semua itu aku
lakukan karena aku tidak memiliki waktu disiang hari untuk belajar.
Benar kata ibuku meja itu adalah tempat aku menggantungkan semua
cita-citaku. Tempat aku memulai perubahan pada hidup keluargaku. Ibuku
berharap besar padaku, karena aku adalah anak pertama. Jadi setelah aku
lulus SMA nanti aku bisa langsung bekerja, dan ibu optimis terhadap
diriku kalau aku nanti akan mendapatkan pekerjaan yang layak. Karena ibu
tahu aku termasuk murid yang berprestasi disekolah.
Tanpa disadari aku memang menyayangi meja kecil hitam itu, meja itu
selalu aku bersihkan setiap harinya, walaupun meja itu kecil dan sempit
tapi aku masih bersyukur bisa tetap menulis diatas meja. Meja itu adalah
satu-satunya tempat aku berbagi rahasia, tempat aku mengukir sebuah
mimpi. Hanya meja itu yang menjadi saksi kalau aku memiliki sebuah mimpi
yang selama ini aku rahasiakan dari dunia.
Aku punya sebuah mimpi yang benar-benar tidak bisa aku ungkapkan pada
siapapun. Aku takut kalau mimpiku yang satu ini kuberitahu pada orang
tuaku itu akan menjadi beban padanya, kalau aku beritahu pada
teman-teman atau orang banyak aku takut mimpiku yang ini akan
ditertawakan mereka. Jadi selama ini hanya meja kecil ini yang bersaksi
kalau aku sering mengukir sebuah nama Universitas yang aku impikan pada
catatan sekolahku. Ya, mimpiku yang tidak dapat aku beritahukan kepada
siapa pun termasuk orang tuaku sendiri adalah duduk di bangku KULIAH.
Sebenarnya setiap kali orang tuaku membahas tentang pekerjaan yang
nantinya aku lakoni setelah lulus SMA, hati kecilku menangis merintih
tak terdengar siapapun.
“ayah, mama, aku gak mau kerja aku mau kuliah kaya temen-temen, aku
mau masuk UGM aku mau ke Jogja, aku gak bisa KERJA!” jerit hati kecil
ini.
Saat-saat seperti ini semua teman-temanku sibuk mencari tempat bimbel
yang terbaik dikota kami, sebagai salah satu persiapan sebelum
menghadapi SNMPTN. Bagi seorang Siti Horiah jangankan mengikuti program
bimbel, buku paduan SNMPTN saja tak punya. Aku tak pernah memiliki niat
untuk membeli buku SNMPTN yang harganya selangit itu. Untuk makan
adik-adiku saja setiap subhu aku dan ibu masih harus keliling pasar
untuk menjajakan kue cucur buatan ibuku.
Bagaimana aku mau menabung, uang jajan yang ibu berikan itu hanya
sebesar tiga ribu rupiah saja, itupun hanya cukup untuk ongkos naik
angkutan umum. Kalau kue kami tidak terjual satupun itu berarti aku
harus berjalan kaki sejauh 3 km untuk sekolah. Aku tak sanggup meminta
uang sepeserpun unutuk membeli buku SNMPTN pada ayahku yang menjadi kuli
dipasar, apalagi berkata pada ayah kalau aku ingin kuliah ke JOGJA.
Sudahlah bagiku kuliah adalah mimpi-mimpi basi seorang siswa SMA kelas 3
seperti aku ini.
Itulah sebabnya aku menyembunyikan mimpi besar hidupku ini dari orang
banyak. Bagiku mimpi ini hanya akan menjadi pisau kecil bagi keluarga
kami. Mimpi yang akan menusuk dan mengiris perasaan kedua orang tuaku.
Tak pernah sekalipun aku berniat untuk mengkhayal menduduki bangku
kuliah. Aku takut kalau kedua orang tuaku tahu tentang mimpi ini, mereka
pasti akan merasa kalau mereka bukan orang tua yang baik, orang tua
yang tidak bisa membahagiakan anak-anaknya. Biarlah mimpiku yang ini
hanya aku, meja kecil itu dan Tuhan yang tahu.
Sahabatku Ana selalu ada untukku, memberika support. Cita-citanya
menjadi dokter membuat aku tersenyum miris sendiri. Aku selalu berpikir
kenapa aku tidak seberani dirinya bermimpi dan bercita-cita. Namun aku
sadar aku tidak seperti dirinya, aku bukan anak siapa-siapa yang boleh
bermimpi setinggi itu. Kalau kata adikku yang pertama “MIMPI ITU MAHAL
KAK!” buat bermimpi saja itu sulit apa lagi merealisasikannya pada
kenyataan.
Sesulit itukah bermimpi pikirku kalau mimpi saja dianalogikan dan
disamakan dengan kata mahal. Kata-kata yang membuat keluarga miskin
seperti kami gempar mendengarnya. Kata mahal itu bagi kami berarti
mustahil dijangkau. Maklumlah, bagi keluarga miskin seperti kami harga
sebutir telur naik seratus rupiah pun sudah membuat kepala ayahku sakit.
Saat aku berkunjung kerumah Ana, orang tuanya memberikanku uang
sebesar seratus ribu rupiah. Tanganku gemetar menerimanya. Orang tua Ana
memberikan uang itu untuk aku gunakan sebagai ongkos pulang kerumah,
yang pada kenyataannya ongkos yang aku gunakan hanya empat ribu rupiah.
Setelah kuputuskan sisa uang tersebut kuberanikan saja untuk kubelikan
sebuah buku SNMPTN bekas dipasar. Agar harganya tidak mahal dan aku
dapat memberikan sisa uangnya pada ibuku. Aku sangat senang sekali saat
itu, aku berpikir walaupun aku tak ada niat untuk kuliah namun apa
salahnya kalau aku juga ikut menimba ilmu seperti teman-temanku.
“Kamu mau kuliah?” sahut ayahku didepan ibu dan adik-adiku.
Aku kaget bukan main terhadap pertanyaan itu, dari mana ayah tahu
mimpi yang aku sembunyikan dari dunia itu, mimpi yang tidak pernah
terucap oleh lidahku sendiri walau dalam doa di sholatku, mimpi yang
hanya ikut mengalir bersama air mata sebelum tidurku, mimpi yang bahkan
akupun sendiri malu bercerita pada Tuhan.
Ternyata ayah menyadari hal itu semua karena buku SNMPTN yang baru
aku beli kemarin ku letakan diatas meja kecil hitam itu. Ibuku yang
hanya lulusan SD menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan ayah. Ibu
marah mendengar hal itu, ibu menyuruhku mengubur mimpi tersebut, ibu
takut kalau nantinya aku stress karena mimpiku yang ini tidak akan
pernah terwujud.
Aku tertunduk menangis, adik-adiku iba melihat kearahku. Ayah
menenangkanku tersenyum padaku, ayah berkata padaku agar aku belajar
yang baik dan mencari tempat kuliah yang aku inginkan. Ayah berkata
kalau beliau akan berusaha mati-matian agar aku bisa kuliah. Aku
tersenyum melihat ayah yang bijak berkata seperti itu, entahlah aku
sempat berpikir kalau ayah hanya ingin menenangkan diriku saja.
Suatu sore saat aku sedang menyapu halaman rumah, seorang ibu yang sebaya dengan ibuku menegurku.
“kamu mau kuliah yah neng?”. Tegurnya sambil tertawa kecil.
Aku kaget dibuatnya, Ibu itu berkata kalau kemarin ibuku bercerita
pada dirinya bahwa aku merengek meminta meneruskan sekolah. Ibu itu
menasihati diriku, dia berkata padaku kalau kita sebagai orang susah
jangan ‘kebanyakan tingkah’, aku sebagi anak pertama jangan menyusahkan
kedua orangtua dengan merengek-rengek minta kuliah. Kuliah itu mahal
katanya, upah ayahmu itu tidak cukup untuk makan dua kali sehari,
apalagi untuk biaya kuliah. Kasihan adikmu ada banyak mau makan apa
mereka.
Hatiku bergetar, ingin rasanya aku membentaknya. Namun aku hanya
mampu membalas perkataannya dengan senyum termanis yang aku miliki.
Keesokan harinya ibuku bercerita, kalau teman-teman ayahku dipasar
itu mengolok-olok ayahku karena ayahku bercerita pada mereka kalau aku
ingin kuliah. Mereka berkata pada ayahku kalau tidak akan ada
universitas yang mau menerima orang miskin seperti aku ini.
Aku berlari menuju meja kecil hitam di ruang tamuku, ku buka buku
catatanku yang pernah kutulisi tulisan grafiti nama sebuah universitas
impianku. Kurobek dan kulempar bukunya, aku marah saat itu. Karena orang
yang paling aku sayang itu dihina oleh orang lain, dicaci maki. Aku
tersadar kalau itu semua karena mimpi ‘konyolku’ berkuliah. Itulah
sebabnya selama ini aku malu dan memutuskan untuk menguburkan niat dan
impianku berkuliah sedalam-dalamnya. Sudah kukira akan berakhir dengan
penghinaan kedua orangtuaku seperti ini. Aku kesal, orang tuaku dihina
seperti itu. Aku malu karena itu semua adalah ulah dari mimpi tidur
indahku.
***
Keesokan harinya disekolah teman-temanku bersorak dan memanggilku.
“Selamat yah sit, lu masuk daftar undangan SNMPTN tuh!” ucap Lidia
Jantungku bergetar, aku tak percaya kalau namaku bisa masuk dalam
jajaran murid-murid pintar yang bisa mengikuti SNMPTN undangan. Aku pun
girang bukan main, ku hampiri guru bimbingan konselingku. Aku
menceritakan masalah keluargaku selama ini, awalnya aku tak mau
bercerita namun karena mimpiku berkuliah saat ini sudah ada di depan
pelupuk mata. Maka akupun memutuskan untuk menceritakan semuanya agar
aku mendapatkan jalan keluar yang terbaik.
Guruku itu langsung memeluk tubuhku yang kaku, dia memiliki impian
besar terhadap diriku. Dia mencarikan solusi untuk masalahku ini dengan
menawarkan beasiswa BIDIKMISI. Tanpa berpikir panjang aku menyetuji
ajakannya. Aku pulang kerumah dan menyiapkan berkas-berkas yang ada,
saat itu aku merasa bersyukur sekali karena impianku yang kurasa buruk
itu akan segera terwujud. Aku sengaja tidak memberitahu informasi ini
pada kedua orangtuaku, aku ingin membuat semua ini menjadi kejutan bagi
mereka.
Segala macam persyaratan pendaftaran SNMPTN itu pun telah dipenuhi,
aku memutuskan untuk memilih UNIVERSITAS GADJAH MADA dan prodi TEKNIK
NUKLIR pada pilihan pertama. Entahlah dengan hanya bermodal menyukai
kimia dan fisika. Maka aku putuskan untuk memilih program studi ini.
Besar harapanku untuk diterima. Setelah semuanya selesai , baru ku
beritahu ayah dan mama. Mereka sangat senang karena beasiswa Bidik Misi
ini mereka berdua tidak perlu mengeluarkan uang sampai aku lulus nanti.
Kedua orang tuaku pun senang dengan pilihan program studi yang aku pilih
itu.
Semuanya tinggal ku pasrahkan pada Tuhan. Kalau memang rezeki aku
pasti akan mendaptkannya pesan ayah padaku yang selalu ku ingat.Aku
senang dan aku ingin membuktikan pada semua orang yang telah menghina
mimpiku.Aku ingin membuktikan kalau impianku ini akan segera terwujud.
Dua bulan lamanya aku menunggu pengumuman, selama itu aku
mempersiapkan diriku untuk bisa mengikuti SNMPTN tulis, aku belajar
sedikit demi sedikit dari buku soal-soal SNMPTN yang aku miliki.
Semangatku berkuliah setiap harinya semakin kencang. Ditengah-tengah
semangatku ini, masih saja ada tetangga yang mengolok-olok mimpiku. Ada
tetangga yang berkata pada ibuku seperti ini.
“Hati-hati bu, itu anaknya bukan mau kuliah tapi mau jual diri.” Ucapnya sinis
Ingin rasanya aku menampar orang yang berbicara seperti itu pada
ibuku, tapi ibuku menyadarkanku kalau ucapan mereka adalah batu loncatan
bagi prestasiku. Aku harus tetap rajin belajar dan membuktikan pada
dunia kalau mimpiku itu akan mengubah dunia menjadi lebih baik.
Semua hinaan, cacian maki tetangga-tetangga sampai saudara-saudara
terdekat kami kemarin terhadap mimpi besarku, kini lenyap sudah. Air
mata kedua orang tuaku kini warnanya berubah sebening permata,
keringatnya yang bercucuran itu menjadi keringat kebanggaan mereka
terhadapku, simpulan senyum guru-guruku mengguratkan harapan besar
padaku.
Ya, aku diterima di Universitas kerakyatan yang menjadi kebanggaan
negara ini. Universitas bergengsi dan nomor satu terbaik di Negri ini.
Gadjah Mada namanya, di sana namaku tertera di Teknik Nuklir. Program
studi sarjana Nuklir satu-satunya di ASEAN dan memiliki lulusan terbaik
se-Asia.
Aku tak bisa berkata apa-apa, melihat kebahagiaan kedua orang tuaku.
Melihat mimpiku yang kini menjadi nyata, mimpi yang tak pernah berani
aku ungkapkan pada dunia. Mimpi yang tak seharusnya aku tutupi dari
orang lain. Sekarang aku sadar kalau semua itu memang berasal dari
mimpi. Mimpi yang bukan hanya sekedar mimpi, mimpi yang harus segera
diwujudkan, bukan dibiarkan tetap tidur bersama angan-angan semata.
Aku pun tersadar sekarang kalau tak ada satupun hal yang mustahil
dalam hidup ini, aku masih memiliki Allah. Tuhanku yang tak pernah
tidur, yang selalu mau mendengarkan mimpi kecil kita. Aku tak akan
menyia-nyiakan amanat besarmu ini Tuhan. Aku tersenyum mengingat semua
pengorbanan aku dan kedua orangtuaku demi mimpi manis ini kemarin.
Terimakasih meja kecilku yang setia menemaniku merogoh mimpi ini.
Terimakasih Tuhan mengijinkanku merajut asa ini untuk meraih impian.
From:
tf.ugm.ac.id