Oleh: Wulan Bila
(Alumni Pengurus KAMMI Komsat UNY)
(Alumni Pengurus KAMMI Komsat UNY)
Sementara
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA/AEC) sudah mulai bergerak, aspek pendidikan
Indonesia masih tertatih dalam mencapai tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Padahal tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan memegang peran penting untuk
membentuk karakter bangsa dalam menghadapi persaingan global. Tidak hanya di
bidang ekonomi, pendidikan juga bertanggung jawab terhadap penanganan berbagai
masalah di bidang lain. Sebut saja dalam penanganan bencana alam seperti
banjir, longsor, gempa, dan lainnya; peningkatan kualitas transportasi yang
menitikberatkan aspek keamanan dan kenyamanan; solusi penetapan hak cipta seni maupun
budaya; pertahanan negara; pemberantasan korupsi; atau bahkan tentang membangun
kearifan sikap dalam berpolitik. Kebijakan solutif hanya mampu disusun oleh
para lulusan pendidikan yang berkualitas baik di sisi hardskill maupun softskill,
intelektual maupun moral.
Memang,
pendidikan informal dan nonformal turut memegang andil dalam membangun karakter
bangsa. Namun pendidikan formal sudah semestinya mendapat perhatian khusus mengingat
perannya dalam mengelola sebagian besar peserta didik dibanding jenis
pendidikan lain, serta sistemnya yang menjadi kesepakatan bersama dalam satu
negara. Terlebih, ada tanggung jawab besar terhadap banyaknya dana terkuras yang
berasal dari kantong-kantong rakyat yang sejatinya berhak menikmati hasil dari
adanya pendidikan formal tersebut. Dalam pidato
kenegaraan tentang Nota Keuangan RAPBN pada bulan Agustus tahun lalu, SBY
menargetkan alokasi anggaran pendidikan pada tahun 2015 hingga mencapai angka
Rp 404 triliun dan Rp 67,2 triliun untuk Kemendikbud. Meski ada penurunan
jumlah alokasi bagi Kemendikbud, angka ini tetap terbilang fantastis dibanding
anggaran untuk bidang lain (20% dari APBN, sesuai amanat konstitusi). Ini tentu
menjadi amanah besar bagi pihak-pihak yang bertugas mengelola pendidikan formal,
dalam hal ini adalah kementrian pendidikan serta setiap individu yang terlibat
dalam komunitas pendidikan di setiap jenjang.
Atas
upaya pemerintah hingga saat ini, perlu adanya apresiasi positif dari
masyarakat. Apresiasi tersebut tentu tidak hanya berupa pujian, tapi juga
berupa evaluasi bersama demi peningkatan mutu pengelolaan pendidikan di periode
selanjutnya. Mengamati perkembangan kebijakan pendidikan beberapa tahun ke
belakang, dapat dicermati hal-hal yang menjadi titik penghambat laju
peningkatan kualitas pendidikan. Pertama, lambannya tindak lanjut terhadap
masalah yang terjadi di lapangan. Salah satu contoh adalah masalah
kontroversial pelaksanaan Ujian Nasional (UN). (Sepanjang pengetahuan penulis)
isu penghapusan UN sudah berhembus sejak 2006. Ini berarti butuh waktu hampir
sepuluh tahun untuk menyelesaikan satu masalah saja. Durasi waktu yang sangat
tidak menguntungkan bagi perkembangan kualitas pendidikan.
Kedua,
terjadi discontinuity dalam pelaksanaan
kebijakan pemerintah. Keluhan ini sudah sangat lazim didengar: ganti menteri
ganti kebijakan. Salah satunya dapat dilihat dari kebijakan kembali ke kurikulum
2006 (KTSP). Nampak jelas bahwa poin keenam dari delapan arah kebijakan program
pembangunan pendidikan dan kebudayaan tahun 2015 tidak berlanjut. Nasib Kurikulum
2013 (K13) yang seumur jagung harus diikhlaskan hanya sebagai kenangan. Di luar
asumsi perbedaan kepentingan politik para petinggi negara di periode yang
berbeda, harusnya ada klarifikasi yang jelas mengingat keterlibatan para
pelaksana proses pendidikan yang dengan susah payah beradaptasi terhadap
kurikulum yang dibuat pemerintah. Perubahan kebijakan tanpa diiringi
klarifikasi yang jelas hanya menciptakan kebingungan.
Selanjutnya
adalah lambannya proses sosialisasi kebijakan kepada pelaku pendidikan dan
masyarakat. Luasnya negara Indonesia memang bisa dianggap sebagai titik lemah
dalam penyebaran informasi dan upaya memastikan tiap pengelola komunitas
pendidikan mampu mengimplementasikan kebijakan yang baru. Misal dalam
pelaksanaan K13, butuh hitungan tahun sejak diberlakukan untuk dapat dipahami
pelaksanaannya. Bahkan ketika kurikulum tersebut dihapus, masih banyak praktisi
pendidikan maupun masyarakat yang belum paham konten K13 itu sendiri. Ini
kelemahan yang butuh penanganan serius.
Poin
di atas berpengaruh pada poin berikutnya, yaitu lemahnya kompetensi pendidik. Sosialisasi yang lambat berdampak pada
buruknya kualitas pendidik. Pendidik tidak mampu menerapkan kurikulum serta
tidak mampu membawa proses pembelajaran ke tujuan yang ingin dicapai. Untuk
melalukan tugasnya, pendidik tentu butuh bekal. Solusi yang sudah diberlakukan
sejak lama adalah adanya program khusus bagi calon pendidik yaitu FKIP atau
jurusan kependidikan. Sayangnya, belakangan para mahasiswa yang berasal dari
jurusan kependidikan terusik dengan adanya kebijakan Pendidikan Profesi Guru
(PPG). Nasib mereka yang sejak awal dianggap sudah siap terjun ke dunia
kependidikan kembali kabur. Ada kegamangan yang tercipta dari kebijakan ini.
Mereka harus kembali bersaing dengan personal yang tidak berasal dari jurusan
kependidikan.
Masalah
lain yang nampak sederhana namun berdampak besar bagi para calon pendidik
adalah mereka merasa bahwa materi keilmuan bidang yang mereka tekuni sangat
jauh tertinggal dibanding mahasiswa dengan program studi sama namun berlabel
non-kependidikan. Luasnya materi
keilmuan yang harus mereka kuasai padahal juga harus berbagi waktu dengan
kewajiban SKS materi kependidikan menjadi salah satu alasan. Hasilnya, keilmuan
mereka luas tapi tidak mendalam. Keilmuan seperti ini cocok dimiliki para
pelaku jurnalis, tapi bagi seorang guru hal ini menjadi sebuah kelemahan yang
sangat mendasar. Belajar dari ulama-ulama terdahulu, ‘guru’ bukanlah profesi
yang sengaja dikejar. Namun gelar tersebut disandangkan kepada mereka karena
kedalaman ilmu yang dikuasai dan kesadaran untuk berbagi. Ini merupakan
perbedaan mencolok antara ‘guru masa lalu’ dan ‘guru masa kini’.
Hal
ini bisa berdampak lebih buruk lagi jika para pelaku pendidikan yang tidak
berkompeten kemudian diangkat sebagai pimpinan bahkan menteri yang memiliki hak
memutuskan kebijakan. Dapat dibayangkan bagaimana kualitas kebijakan yang
dihasilkan dari orang-orang seperti ini. Ada sebuah anekdot yang mahsyur
didengar di kalangan pendidik: para dosen belajar tinggi-tinggi hingga bergelar
PhD mentok di jabatan Guru Besar,
tapi dengan leluasa diatur-atur oleh para pejabat yang hanya lulusan S1 atau
bahkan hanya lulusan SMA (syarat minimal caleg). Mirisnya, anekdot ini bukan
mustahil terjadi.
Dan
terakhir, kurangnya pemberdayaan terhadap lulusan. Masalah klasik yang sering
ditemui adalah banyaknya lulusan berkompeten yang enggan mengabdi kepada negara
disebabkan mereka lebih merasa dihargai oleh lembaga atau negara lain. Di sisi lain,
banyak pula ditemui pilihan kerja lulusan yang tidak sesuai dengan target
penjurusan. Yang kedua ini memang menjadi pilihan pribadi (dan boleh dibilang
ada faktor ‘nasib/takdir’ di dalamnya). Namun, aneh rasanya jika masih banyak
lulusan yang enggan menjadi guru padahal berasal dari kampus pendidikan, atau
seorang sarjana spesialis ilmu alam yang lebih memilih sukses di dunia bisnis.
Lalu apa fungsi penjurusan yang sudah dirancang dari jenjang sekolah menengah
atas hingga pascasarjana? Dari kacamata ‘takdir’ memang dapat dimaklumi, tapi dari
sisi fungsi manajemen pendidikan hal ini harus menjadi evaluasi besar bagi target
penyiapan kompetensi lulusan.
Peran
pendidikan yang sangat penting bukan hanya mengasah skill ataupun menambah pengetahuan, tapi juga membentuk cara
berfikir (mindset). Cara berpikir
yang sudah terbentuk inilah yang mendasari tumbuhnya kedewasaan dan karakter
yang kuat. Cara berpikir yang benar akan menuntun para lulusan kepada target
yang visioner. Pendidikan tidak sekedar mengarahkan bagaimana para lulusan
mampu survive untuk kehidupan
pribadinya, namun lebih jauh lagi mereka mampu untuk terlibat aktif dalam
proses pembangunan kualitas bangsa. Dalam bahasa lain: tidak hanya berorientasi
pada penghasilan, tapi juga pengabdian. Pada akhirnya, pengelola pendidikan
dituntut untuk mencapai tujuan ini. Akan menjadi mustahil jika kebijakan yang
diambil tidak mendukung sistem pencapaian tujuan. Karena itu perlu adanya
pertimbangan, evaluasi dan kontrol dari banyak pihak. Di sinilah peran
masyarakat untuk ikut mencermati kinerja para penentu kebijakan agar tidak
salah langkah dalam memetakan masa depan pendidikan Indonesia.