Rabu, 25 Maret 2015

Evaluasi Kebijakan Pendidikan: Membaca Kualitas Pengelolaan Pendidikan Formal

Oleh: Wulan Bila
(Alumni Pengurus KAMMI Komsat UNY)

Sementara Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA/AEC) sudah mulai bergerak, aspek pendidikan Indonesia masih tertatih dalam mencapai tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Padahal tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan memegang peran penting untuk membentuk karakter bangsa dalam menghadapi persaingan global. Tidak hanya di bidang ekonomi, pendidikan juga bertanggung jawab terhadap penanganan berbagai masalah di bidang lain. Sebut saja dalam penanganan bencana alam seperti banjir, longsor, gempa, dan lainnya; peningkatan kualitas transportasi yang menitikberatkan aspek keamanan dan kenyamanan; solusi penetapan hak cipta seni maupun budaya; pertahanan negara; pemberantasan korupsi; atau bahkan tentang membangun kearifan sikap dalam berpolitik. Kebijakan solutif hanya mampu disusun oleh para lulusan pendidikan yang berkualitas baik di sisi hardskill maupun softskill, intelektual maupun moral.
Memang, pendidikan informal dan nonformal turut memegang andil dalam membangun karakter bangsa. Namun pendidikan formal sudah semestinya mendapat perhatian khusus mengingat perannya dalam mengelola sebagian besar peserta didik dibanding jenis pendidikan lain, serta sistemnya yang menjadi kesepakatan bersama dalam satu negara. Terlebih, ada tanggung jawab besar terhadap banyaknya dana terkuras yang berasal dari kantong-kantong rakyat yang sejatinya berhak menikmati hasil dari adanya pendidikan formal tersebut. Dalam pidato kenegaraan tentang Nota Keuangan RAPBN pada bulan Agustus tahun lalu, SBY menargetkan alokasi anggaran pendidikan pada tahun 2015 hingga mencapai angka Rp 404 triliun dan Rp 67,2 triliun untuk Kemendikbud. Meski ada penurunan jumlah alokasi bagi Kemendikbud, angka ini tetap terbilang fantastis dibanding anggaran untuk bidang lain (20% dari APBN, sesuai amanat konstitusi). Ini tentu menjadi amanah besar bagi pihak-pihak yang bertugas mengelola pendidikan formal, dalam hal ini adalah kementrian pendidikan serta setiap individu yang terlibat dalam komunitas pendidikan di setiap jenjang.
Atas upaya pemerintah hingga saat ini, perlu adanya apresiasi positif dari masyarakat. Apresiasi tersebut tentu tidak hanya berupa pujian, tapi juga berupa evaluasi bersama demi peningkatan mutu pengelolaan pendidikan di periode selanjutnya. Mengamati perkembangan kebijakan pendidikan beberapa tahun ke belakang, dapat dicermati hal-hal yang menjadi titik penghambat laju peningkatan kualitas pendidikan. Pertama, lambannya tindak lanjut terhadap masalah yang terjadi di lapangan. Salah satu contoh adalah masalah kontroversial pelaksanaan Ujian Nasional (UN). (Sepanjang pengetahuan penulis) isu penghapusan UN sudah berhembus sejak 2006. Ini berarti butuh waktu hampir sepuluh tahun untuk menyelesaikan satu masalah saja. Durasi waktu yang sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan kualitas pendidikan.
Kedua, terjadi discontinuity dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah. Keluhan ini sudah sangat lazim didengar: ganti menteri ganti kebijakan. Salah satunya dapat dilihat dari kebijakan kembali ke kurikulum 2006 (KTSP). Nampak jelas bahwa poin keenam dari delapan arah kebijakan program pembangunan pendidikan dan kebudayaan tahun 2015 tidak berlanjut. Nasib Kurikulum 2013 (K13) yang seumur jagung harus diikhlaskan hanya sebagai kenangan. Di luar asumsi perbedaan kepentingan politik para petinggi negara di periode yang berbeda, harusnya ada klarifikasi yang jelas mengingat keterlibatan para pelaksana proses pendidikan yang dengan susah payah beradaptasi terhadap kurikulum yang dibuat pemerintah. Perubahan kebijakan tanpa diiringi klarifikasi yang jelas hanya menciptakan kebingungan.
Selanjutnya adalah lambannya proses sosialisasi kebijakan kepada pelaku pendidikan dan masyarakat. Luasnya negara Indonesia memang bisa dianggap sebagai titik lemah dalam penyebaran informasi dan upaya memastikan tiap pengelola komunitas pendidikan mampu mengimplementasikan kebijakan yang baru. Misal dalam pelaksanaan K13, butuh hitungan tahun sejak diberlakukan untuk dapat dipahami pelaksanaannya. Bahkan ketika kurikulum tersebut dihapus, masih banyak praktisi pendidikan maupun masyarakat yang belum paham konten K13 itu sendiri. Ini kelemahan yang butuh penanganan serius.
Poin di atas berpengaruh pada poin berikutnya, yaitu lemahnya kompetensi pendidik.  Sosialisasi yang lambat berdampak pada buruknya kualitas pendidik. Pendidik tidak mampu menerapkan kurikulum serta tidak mampu membawa proses pembelajaran ke tujuan yang ingin dicapai. Untuk melalukan tugasnya, pendidik tentu butuh bekal. Solusi yang sudah diberlakukan sejak lama adalah adanya program khusus bagi calon pendidik yaitu FKIP atau jurusan kependidikan. Sayangnya, belakangan para mahasiswa yang berasal dari jurusan kependidikan terusik dengan adanya kebijakan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Nasib mereka yang sejak awal dianggap sudah siap terjun ke dunia kependidikan kembali kabur. Ada kegamangan yang tercipta dari kebijakan ini. Mereka harus kembali bersaing dengan personal yang tidak berasal dari jurusan kependidikan.
Masalah lain yang nampak sederhana namun berdampak besar bagi para calon pendidik adalah mereka merasa bahwa materi keilmuan bidang yang mereka tekuni sangat jauh tertinggal dibanding mahasiswa dengan program studi sama namun berlabel non-kependidikan.  Luasnya materi keilmuan yang harus mereka kuasai padahal juga harus berbagi waktu dengan kewajiban SKS materi kependidikan menjadi salah satu alasan. Hasilnya, keilmuan mereka luas tapi tidak mendalam. Keilmuan seperti ini cocok dimiliki para pelaku jurnalis, tapi bagi seorang guru hal ini menjadi sebuah kelemahan yang sangat mendasar. Belajar dari ulama-ulama terdahulu, ‘guru’ bukanlah profesi yang sengaja dikejar. Namun gelar tersebut disandangkan kepada mereka karena kedalaman ilmu yang dikuasai dan kesadaran untuk berbagi. Ini merupakan perbedaan mencolok antara ‘guru masa lalu’ dan ‘guru masa kini’.
Hal ini bisa berdampak lebih buruk lagi jika para pelaku pendidikan yang tidak berkompeten kemudian diangkat sebagai pimpinan bahkan menteri yang memiliki hak memutuskan kebijakan. Dapat dibayangkan bagaimana kualitas kebijakan yang dihasilkan dari orang-orang seperti ini. Ada sebuah anekdot yang mahsyur didengar di kalangan pendidik: para dosen belajar tinggi-tinggi hingga bergelar PhD mentok di jabatan Guru Besar, tapi dengan leluasa diatur-atur oleh para pejabat yang hanya lulusan S1 atau bahkan hanya lulusan SMA (syarat minimal caleg). Mirisnya, anekdot ini bukan mustahil terjadi.
Dan terakhir, kurangnya pemberdayaan terhadap lulusan. Masalah klasik yang sering ditemui adalah banyaknya lulusan berkompeten yang enggan mengabdi kepada negara disebabkan mereka lebih merasa dihargai oleh lembaga atau negara lain. Di sisi lain, banyak pula ditemui pilihan kerja lulusan yang tidak sesuai dengan target penjurusan. Yang kedua ini memang menjadi pilihan pribadi (dan boleh dibilang ada faktor ‘nasib/takdir’ di dalamnya). Namun, aneh rasanya jika masih banyak lulusan yang enggan menjadi guru padahal berasal dari kampus pendidikan, atau seorang sarjana spesialis ilmu alam yang lebih memilih sukses di dunia bisnis. Lalu apa fungsi penjurusan yang sudah dirancang dari jenjang sekolah menengah atas hingga pascasarjana? Dari kacamata ‘takdir’ memang dapat dimaklumi, tapi dari sisi fungsi manajemen pendidikan hal ini harus menjadi evaluasi besar bagi target penyiapan kompetensi lulusan.
Peran pendidikan yang sangat penting bukan hanya mengasah skill ataupun menambah pengetahuan, tapi juga membentuk cara berfikir (mindset). Cara berpikir yang sudah terbentuk inilah yang mendasari tumbuhnya kedewasaan dan karakter yang kuat. Cara berpikir yang benar akan menuntun para lulusan kepada target yang visioner. Pendidikan tidak sekedar mengarahkan bagaimana para lulusan mampu survive untuk kehidupan pribadinya, namun lebih jauh lagi mereka mampu untuk terlibat aktif dalam proses pembangunan kualitas bangsa. Dalam bahasa lain: tidak hanya berorientasi pada penghasilan, tapi juga pengabdian. Pada akhirnya, pengelola pendidikan dituntut untuk mencapai tujuan ini. Akan menjadi mustahil jika kebijakan yang diambil tidak mendukung sistem pencapaian tujuan. Karena itu perlu adanya pertimbangan, evaluasi dan kontrol dari banyak pihak. Di sinilah peran masyarakat untuk ikut mencermati kinerja para penentu kebijakan agar tidak salah langkah dalam memetakan masa depan pendidikan Indonesia.
© Blog Komisariat KAMMI UNY
Maira Gall