Bebeberapa waktu yang lalu, pembicaraan mengenai koalisi poros Islam sempat menghangat di masyarakat. partai-partai Islam berkumpul menentukan satu nama, bergabung, memebentuk poros dan sebagainya. Tapi melihat kenyataan saat ini, apakah mungkin? Sepertinya poros Islam hampir mustahil bisa terjadi. Jika dilihat secara obyektif, permasalahan yang ada pada partai-partai Islam adalah masalah deideologisasi. Artinya, parpol Islam telah salah memaknai Islam.
Islam sebagai sebuah peradaban
Menurut Ibnu Khaldun, maju mundurnya suatu peradaban ditentukan oleh tiga faktor. Yang pertama, Ilmu Pengetahuan, kedua Sistem Pemerintahan, dan terakhir adalah Teknologi, ketiga faktor ini sangat penting untuk menentukan tingkat kemajuan suatu peradaban, termasuk peradaban Islam.
Sistem pememrintahan sangat berpengaruh untuk mengukur tingkat kemajuan suatu peradaban. Pun dengan peradaban Islam itu sendiri. Lantas, sistem pemerintahan seperti apa yang dikehendaki oleh Islam? Mari berkaca dari kisah Umar bin Abdul Aziz. Beliau tidak berani menyalakan lampu untuk tamunya ketika tamunya tersebut bertamu bukan untuk urusan negara. Atau lihatlah kisah seorang gubernur Himsha, Sa’id bin Amr. Rakyatnya mengeluhkan kinerja sang Gubernur yang hanya tidak mau ditemui di pagi dan malam hari. Bahkan ada satu hari dalam sebulan yang ia tidak mau ditemui kecuali setelah dhuhur. Tapi apakah jawabannya ketika khalifah umar mengkonfirmasi hal tersebut?
“Pada pagi hari, aku memang terlambat untuk menemui mereka. Itu karena aku tidak mempunyai pelayan. Sehingga aku harus mengadon roti sendiri, dan memasaknya untuk aku suguhkan pada keluargaku. Baru setelah itu aku shalat dhuha dan keluar menemui rakyatku”
“Sedangkan untuk malam hari, aku memang sebisa mungkin untuk tidak keluar rumah, kecuali karena urusan penting yang tidak bisa diwakilkan. Karena aku telah menghabiskan waktu siangku untuk mereka, sedangkan malam aku ingin menghabiskannya dengan Tuhanku.”
“Dan untuk satu hari dalam sebulan yang aku sama sekali tidak keluar rumah sampai tengah hari, adalah karena aku tidak punya baju lagi selain yang aku kenakan ini. Pada hari itu aku mencucinya. Aku menunggunya sampai kering. Baru setelah itu aku keluar menemui mereka”.
Apakah kesimpulan yang bisa ditarik dari dua kisah diatas? Kebersahajaan. Kisah diatas menegaskan, bahwa untuk menarik simpati rakyat, tidak melulu harus dengan kekayaan. Lihatlah Abdurrahman bin Auf. Ia adalah orang terkaya di madinah, tapi ketika ia dikumpulkan dengan budak-budaknya, orang-orang tidak bisa menentukan siapakah yang seorang tuan. Atau lihatlah kisah Imam Al Ghozali. Sebelum hijrah, beliau adalah orang yang sangat kaya dengan setelan seharga 200 dinar. Tapi setelah hijrah, beliau merasa apa yang ia kenakan tidak sesuai dengan esensi Islam, lantas beliau memutuskan untuk sederhana.
Contoh-contoh diatas menggambarkan tentang kezuhudan. Ternyata, dalam perjalanannya, zuhud juga mampu mengambil simpati masyarakat dan mengundang respect. Sebenarnya, inti dari pemerintahan Islam bukan hanya kezuhudan. Ada tiga inti pemerintahan Islam. Kezuhudan, Akhlaq, dan Kapasitas Keilmuan. Tiga hal inilah yang membentuk pemerintahan Islam yang ideal.
Kembali ke perkara deideologisasi. Deideologisasi terjadi ketika ada penyimpangan, kesalahartian konsep dari tiga hal tersebut diatas. Misalnya, ketika konstruksi kekayaan dimaknai dengan bermewah-mewahan, ada konsep kezuhudan yang disalah artikan. Pemimpin harus zuhud. Meski kaya juga harus zuhud. Karena dengan zuhud, pemimpin mampu memahami permasalahan-permasalahan yang akrab terjasi di masyarakat.
Lalu, perkara akhlaq. Ambillah teladan dari tiga tokoh besar Indonesia ini. Hatta, Natsir, dan Hamka.
To be continued…